Jungwoo Yang Lain

11.5K 1.1K 777
                                    


Johnny POV.

Bangunan di hadapanku berdiri kokoh seperti menantang orang-orang bernyali tinggi untuk masuk ke dalamnya. Begitu aku masuk ke dalam, ruangan dengan suhu dingin menyambutku. Kulihat sekeliling sambil dalam hati merutuki betapa tidak ramahnya tempat itu.

"Ada yang bisa kubantu?" seorang wanita yang duduk di belakang meja informasi menyapaku. Dia terlihat ramah, tidak seperti udara yang mengelilinginya.

"Aku menginginkan rekam medis pasien atas nama Chittaphon Lee." dahi wanita itu berkerut. Tentu saja Ia tidak akan memberikan data itu padaku dengan mudah. Aku mengeluarkan kartu identitasku serta surat pernikahanku dan Ten. "Kami pasangan yang legal. Aku berhak tau kondisi kesehatannya."

Akhirnya wanita itu menuruti keinginanku. Dia menyuruhku duduk sembari menunggunya mencari data tentang Ten di komputer dan melakukan segala macam legalisir.

"Ini tempat yang buruk. Bagaimana bisa kau membawa istriku kesini?" ucapku pada Jaehyun yang sebenarnya sejak tadi ada di sampingku.

"Doyoung yang tau tempat ini. Aku hanya sopir, oke? Jangan salahkan aku terus."

Rasanya aku belum selesai mencerca rekanku ini setelah sebelumnya kami terlibat pertengkaran yang hebat. Aku tidak tahu apakah posisi Jaehyun membuatnya tepat untuk disalahkan, tapi aku tetap marah padanya karena dia ikut campur masalah pribadiku.

Tak lama kemudian, seorang laki-laki asing dan wanita yang tadi menyambutku datang. Mereka memberikanku satu map berisi rekam medis Ten di dalamnya.

"Anda harus menandatangani berkas ini jika ingin mengambil guci abu janinnya." Aku terkesiap saat mendengar ucapan laki-laki asing. Apa tadi dia bilang tentang guci abu? Apa benda itu benar-benar ada?

Aku menatap Jaehyun. Apakah dia tau tentang hal ini dan juga merahasiakannya?

"Aku tidak tau apa-apa. Yang kutahu Ten menggugurkan bayinya disini. Kupikir janinnya sudah... dibuang... atau...."

Laki-laki tadi mengantar kami ke sebuah ruangan di bawah tanah. Orang-orang yang bekerja di bagian itu sepertinya sudah menyiapkan segalanya. Sebuah guci berwarna kuning gading polos sudah mereka siapkan di atas sebuah meja.

"Ini... Abu janinnya." Bibirku tiba-tiba terasa kering, jantungku berdebar keras ketika melihat gerabah kecil itu. Perasaan yang sama seperti ketika aku melihat guci abu Jungwoo. Tentu saja sama. Mereka berdua adalah anakku. Anakku yang tanpa kuketahui meninggal di hari yang berdekatan.

Aku adalah ayah yang buruk.

Perjalanan kembali menuju Seoul diisi dengan hening antara aku dan Jaehyun. Temanku itu seakan ikut menyesalkan sikapnya dulu setelah melihat guci abu calon anakku.

Aku mendekap benda itu dalam pelukan. Berharap di surga, anakku merasakan kehangatan ayah yang menyayanginya ini.

.

"Berhenti di depan situ." Ucapku tiba-tiba ketika aku tersadar dari lamunan dan melihat sungai di samping jalan.

Jaehyun menepikan mobil ke bahu jalan dengan hati-hati. Keadaan jalanan yang sepi membuatnya dengan mulus memarkirkan benda beroda itu tepat di sisi jalan.

"Mau apa?"

"Aku rasa tidak ada gunanya membawa anak ini pulang."

Aku beranjak keluar dari mobil. Tanpa mempedulikan apakah Jaehyun mengikutiku atau tinggal di mobil, aku berjalan ke bawah. Mendekat pada aliran air yang dangkal dan tak deras. Sungai itu ada di antara dataran yang tinggi. Bukit-bukit nan hijau juga asri. Tempat beristirahat yang sangat baik jika dibandingkan terkurung dalam kotak kaca.

Sad Love Story | JohntenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang