BAB 4. Takydromus

109 22 23
                                    

a.n: Sebenernya, cerita di Bab sebelumnya belum mencapai 25 pembaca, tapi ... Gpp dh, selamat membaca ...

- MOURLI -

"Sugi, awas gak keliatan!"

"Sugi, ke heula atuh, urang encan." [Sugi, sebentar dong, aku belum]

"Sugi ih, awas atuh ari maneh ngahalangan." [Sugi ih, kamu minggir dong ngehalangin]

"Sugi, itu apa? Gak ke baca."

Aku menarik napas perlahan, lalu menoleh ke arah belakang. "Jadi, kalian mau nya kayak gimana?" tanya ku setelah tadi sibuk menulis di whiteboard. Dari sini, semua aktifitas teman-temanku bisa terlihat.

Ada yang sedang tiduran, memainkan gawai, ngobrol dengan teman semeja, dan masih banyak aktifitas lainnya. Satu hal menjadi pertanyaan, kenapa mereka sibuk berkomentar kalau nyatanya tidak ada satu pun siswa yang menulis?!

"Kalian gak nulis?"

"Enggak."

"Terus, kenapa dari tadi kalian ngomong mulu?!"

"Hayang we, maneh mah ulah wae." [pengen aja, kamu tuh gak boleh mulu]

Yang barusan 'kentut'-um, maksudku 'ngomong' itu cowok. Dia berkulit coklat tua, memiliki bentuk tubuh hampir serupa dengan gentong pertamina, kumis nya agak tebal, lalu jika kalian tekan perutnya pakai telunjuk, otomatis jari kalian akan terpental.

Juga, dia memiliki bentuk alis yang unik dengan ujung melengkung ke atas-seperti pegangan cerulit. Tak heran kalau kita menatap wajahnya, otomatis rasa ingin ngebacok itu timbul.

Fajar Suryadinata, nama nya. Sosok lelaki mempunyai hobi merecoki hidupku. Dia salah satu spesies menyeramkan yang harus aku hindari. Bukan karena wajah nya nampak garang, tapi sifat nya juga. Si 'gentong' ini termasuk anggota di wc club. Dimana, setiap jam kosong mereka akan pergi ke toilet lalu merokok berjamaah.

Tipe badboy. Hanya saja, siswa seperti ini di sekolahku tidak ada yang menarik perhatian-malah memperihatinkan. Wajah tampan, tak punya. Cerdas dibidang akademik pun tidak bisa. Lebih menyakitkan lagi, mereka banyak gaya. So so'an baju dikeluarkan, jambul ditinggi-tinggikan, dada dibusungkan. Giliran jajan, mereka ngambil lima dan yang dibayar cuma satu.

Ironi sekali

"Nulis dong kalian, aku udah capek-capek nulis di papan."

"Kalau capek, diem aja."

"Iya, Gi, nanti dulu."

"Masih banyak, gak?"

"Kalian bisa ngehargain gak sih? Kalian tuh enak cuma nulis satu kali abis itu kumpulin, nah aku harus nulis lagi di buku. Apa susah nya sih?" aku menatap jengah, kemudian kembali berujar, "aku diktein. Dengerin baik-baik, ga akan ada pengulangan!"

Dukkkkkk

Brenggggggg

Titttttttttttttt

Suara meja bergesekan dengan lantai keramik terdengar. Mereka sibuk merapikan tempat duduk, lalu merapat ke arah depan. Aku menggulum senyum. "Udah belum? Aku bacain nih. Inget, ya ... Gak ada pengulangan kalimat." jeda sejenak. "Mikrotubul adalah rantai protein yang berbentuk spiral dan spiral ini membentuk tabung berlubang ..."

Tanpa terasa, bel pergantian mata pelajaran pun sudah dibunyi 'kan. Kami bisa bernapas lega, sebab lagi-lagi guru tersebut tidak dapat masuk.

Aku melangkah dengan riang ke luar kelas, lalu berjalan bolak-balik sembari memperhatikan tanaman berbunga warna ungu yang berukuran kecil.

MOURLITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang