PROLOG

230 109 2
                                    

"Kamu lagi ngapain sih, Lesh?" Billie dengan keponya mengintip kegiatan Alesh. Lelaki itu sedang fokus pada laptopnya dan sesekali menyesap frappuccino miliknya.

Alesh melirik sebentar. "Ini lagi nyari info di internet."

"Info tentang apa? Kok kayaknya serius banget gitu?" tanya Billie yang kini sudah duduk di samping sahabatnya, Aleshio Kanaka.

"Loh ... kamu? Kamu mau lanjut kuliah di London, Lesh? Serius?" Billie membulatkan matanya setelah membaca sederet informasi di layar laptop Alesh.

"Iya, Bil. Saya dapat beasiswa dan tawaran kontrak kerja langsung setelah lulus kuliah di sana. Mama papa juga udah setuju sama keputusan saya. Tinggal persetujuan kamu yang belum saya dapat. Kamu setuju, 'kan?" Alesh menoleh pada Billie dengan tatapan mata penuh harapan.

"Nngg ... Lesh ...." Billie terlihat ragu untuk menjawabnya. Jelas ia tidak ingin berpisah dengan Alesh. Hanya Alesh sahabat yang ia punya. Dan ia tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya tanpa kehadiran lelaki berkacamata itu.

"Ayolah, Bil. Kamu setuju kan saya lanjut kuliah di London? Kamu pasti tau itu impian saya sejak dulu." Sementara Alesh masih setia dengan tatapan penuh harapnya. Walau ia pun tak tega meninggalkan Billie, tapi ia yakin Billie pasti menyetujui kepergiannya. Bagaimanapun juga ini adalah impiannya sejak dulu, dan Billie tahu itu.

"Lesh, aku nggak mau kamu pergi." Billie mengucapkannya lugas dengan mata yang terpejam. Ia tidak sanggup melihat wajah kecewa Alesh. Lelaki itu pasti kecewa dengan jawabannya.

"Tapi, Bil. Kamu tau kan, bisa kuliah dan berkarir di London itu impian saya sejak dulu?" tanya Alesh. Nada suaranya memelan, tak percaya juga bertanya-tanya mengapa Billie menjawab seperti itu. Ia pikir gadis itu mengerti dan akan menyetujui.

Billie membuka matanya perlahan. Bulir air mata mulai mengalir membasahi pipinya. "Iya, aku tau, Lesh. Tau banget malah. Aku tau semua hal tentang kamu, tapi untuk yang satu ini nggak tau kenapa aku ga bisa. Aku ga bisa lepas kamu, Lesh," ucap Billie sambil menundukkan kepalanya.

"Bil ...,"

"Kamu satu-satunya yang aku punya setelah kepergian Mama. Cuma kamu yang peduli sama aku, bahkan papa aja nggak peduli aku mau tinggal di mana. Adanya kamu di sini bikin suatu harapan muncul dalam diri aku, Lesh. Harapan untuk aku tetap bertahan hidup dengan jiwa aku yang kosong setelah kepergian Mama dua tahun lalu." Billie menangis sesenggukan. Bahunya bergetar hebat. Ia menangis untuk luka lama yang tiba-tiba muncul kembali.

"Kamu yang bikin aku merasa kembali hidup, Lesh. Terus kalau sekarang kamu mau pergi, apa aku bisa terus hidup dengan jiwa aku yang kembali kosong?"

Billie menatap mata Alesh dalam-dalam. Seolah mengisyaratkan bahwa ia tak mungkin sanggup meneruskan hidup tanpa Alesh di sampingnya.

Lalu tanpa aba-aba Alesh menarik tubuh mungil Billie ke dalam dekapannya yang hangat. Melindunginya dari berbagai macam luka yang siap melemahkan gadisnya. Billie tak boleh terluka, karena Alesh tak siap melihat gadis yang ia cintai terpuruk untuk kedua kalinya.

"Ssttt, udah nangisnya. Saya nggak suka liat kamu sedih kayak gini, karena itu bisa bikin saya sakit. Saya di sini, Bil. Di samping kamu. Kalau memang kamu nggak siap ngelepas saya pergi, saya akan tetap tinggal. Asal air mata itu nggak mengalir dari mata cantik kamu lagi." Setelah mengatakan itu dengan lembut, Alesh melepas pelukannya. Ia memegang kedua bahu Billie sambil memperhatikan wajah gadis itu yang basah oleh air mata.

Kemudian Alesh menyapukan ibu jarinya untuk menghapus air mata Billie. "Saya akan batalin semuanya dan akan tetap tinggal di sini. Kamu nggak perlu khawatir lagi akan kehilangan saya, karena mulai saat ini dan seterusnya, saya akan jadi guardian kamu."

Kehilangan impiannya memang hal yang sangat berat untuk Alesh. Namun, membayangkan hal-hal yang bisa saja terjadi pada Billie jika ia tetap pergi ke London adalah kelemahannya. Ia benar-benar tak ingin Billie merasakan sakit yang sama untuk kedua kalinya.

[✔] BetrayalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang