BAB III (A)

470 49 16
                                    


Happy Reading


Alvin sedang berada di dalam gudang rumahnya. Ia membuka satu persatu kotak besar yang terletak di dalam sana. Semua yang ada di dalam kotak tersebut adalah barang-barang milik Key. Alvin tau bahwa barang-barang itu kesayangan Key tapi kenapa Key justru menyingkirkannya. Alvin duduk terdiam berusaha untuk mencari jawabannya.

Alvin menyadarinya. Sesuatu itu tidak akan dianggap berharga jika pemiliknya tidak merasakan apa artinya kehilangan. Sama halnya seperti siang. Siang terasa biasa saja sebelum datangnya malam. Kini Alvin menyadari kesalahannya. Ia telah merenggut sesuatu yang berharga bagi Key. Pada akhirnya, peran antagonis itu adalah dirinya sendiri. Jurang pemisah yang telah dibuat Key adalah karena kesalahannya.

"Alvin?" panggil ibunya. Alvin bangkit. Ibunya menghampiri.

"Kamu ngapain di gudang?" tanya ibunya.

Alvin hanya diam dan memainkan jarinya.

"Masih menyalahkan diri sendiri?" lanjut ibunya.

Alvin memandang ibunya kemudian memeluknya.

"Ini semua salah Alvin, kan? Alvin jahat ya, Ma?" lirih Alvin. Ibunya mengelus lembut punggung Alvin.

"Bukan, sayang. Kamu ga salah. Takdir kalian lah memang begini adanya. Kamu harus bangkit, sayang. Sekarang kan Key sudah baik-baik saja." hibur ibunya.

"Ngga, Ma. Key menatapku seperti orang asing. Aku tau," bantah Alvin.

"Jangan berprasangka buruk, sayang. Key sudah cukup kuat sebagai adikmu. Kamu juga harus kuat dan terus dampingi dia," tutur sang ibu. Alvin terdiam.

Tanpa mereka sadari Key mendengar pembicaraan mereka. Key kembali ke kamarnya. Tatapannya kosong. Key memeluk lututnya. Wajahnya menampilkan ekspresi dingin. Tangannya mengepal kuat. Matanya memerah.

"Semuanya sama saja. Tidak ada yang dapat dipercaya. Bukan aku yang penuh rahasia tapi kalian! Aku lelah! Perasaan ini begitu menyesakkan. Aku hidup pun pasti sebuah keterpaksaan. Semuanya hanya bisa memberiku luka tanpa tau bagaimana menyembuhkannya. Aku sendiri dan aku rindu," batin Key.

Key meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia kuat. Ia mampu melewati semuanya. Tentu saja ia mampu melewati segalanya tanpa perlu memandang ataupun percaya pada siapapun.

Key melewatkan makan malamnya dalam diam. Ia mengunyah makanannya dalam keheninganan. Orang tuanya saling bertukar pandang.

"Ada apa, Key?" tanya Papa. Key Cuma menggeleng pelan.

"Akhir-akhir ini papa liat kamu sering murung. Gimana kalau kamu dan Alvin liburan saja ke Bandung?" tawar Papa.

"Pa..." tegur Alvin.

"Kenapa? Ada yang salah?" Papa tampak heran.

"Aku selesai. Aku ke kamar dulu," pamit Key.

Keesokan harinya

Kelas Key sedang mengadakan diskusi untuk merencanakan tour yang akan mereka adakan beberapa minggu lagi. Mereka sedang menyusun jadwal tempat mana saja yang akan mereka kunjungi.

"Kita kemana saja, teman-teman?" tanya ketua kelas, Leon.

"Trans studio!" saran Bella.

"Farm House!" saran Iva.

"Taman Bunga Nusantara," saran Dian.

"Key, Lu dari Bandung 'kan? Saran lu kita kemana dulu?" tanya Leon.

"Bukan gue aja yang dari Bandung, Ara juga," jawab Key sinis.

"Saran gue sih hari pertama kita bisa ke Taman bunga nusantara sama Farm House baru hari berikutnya ke Trans Studio," ungkap Ara.

"Gimana? Kalian setuju?" tanya Leon pada temen-teman yang lain.

"Setuju!"

Key hanya menghela nafas. Andaikan bisa,Key lebih memilih untuk berada di rumah. Ia terlalu malas untuk kembali ke Bandung lagi.

Bandung, Jawa Barat

Pukul 14.00

Devan membawa kopernya menuruni tangga. Ia kemudian berpamitan dengan kepada Om dan Tantenya serta Reka. Devan memeluk mereka satu persatu bergantian.

"Devan berangkat, ya." pamit Devan.

"Iya. Hati-hati di jalan ya, Dev." sahut tantenya,Lisa.

"Ka Devan janji ya bawa Reka jalan-jalan kalo ka Devan udah balik dari Jakarta," bujuk Reka dengan manja.

"Iya, Janji." jawab Devan sambil mengacak rambut Reka.

Devan kemudian berangkat menggunakan mobilnya. Ia mengemudi sendiri. Di Jakarta nantinya Devan akan menginap di sebuah hotel yang telah disiapkan oleh perusahaan.

Setelah kepergian Devan, Reka kembali ke kamarnya untuk belajar tetapi Lisa datang ke kamarnya.

"Sayang..." panggil Lisa.

"Iya, Ma?" sahut Reka. Lisa kemudian duduk di kasur Reka.

"Kamu yang paling dekat dengan abangmu Revan. Kamu kenal siapa pacarnya?" selidik Lisa. Reka terdiam.

"Aku... aku ga tau ma," jawab Reka menunduk.

"Mama tau kamu sedang bohong. Tapi yasudah kalo kamu belum mau jujur sama mama." Lisa menghampiri putrinya yang sedang duduk dan mengelus kepalanya.

Lisa kemudian keluar dari kamar putrinya. Reka hanya menunduk. Ia ingin jujur, namun takut menyakiti seseorang.

*

Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama akhirnya Devan tiba di Jakarta. Ia mampir dahulu ke super market untuk membeli sedikit keperluannya. Devan mendorong troli dan berjalan mengelilingi supermarket.

"Ka Devan? Iya, kan?" panggil seorang gadis. Devan menghentikan langkahnya.

"Lu kenal gue?" tanya Devan bingung.

"Aku Ara, Ka. Temennya Key," jawab gadis itu,Ara.

"Oh," balas Devan cuek kemudian melanjutkan langkahnya. Tetapi tiba-tiba ia teringat sesuatu dan berbalik.

"Barusan lu bilang... temennya... Key?" ulang Devan dengan wajah kagetnya.

Ara mengangguk.

"Key...." lirih Devan.

Ara mendengar Devan mengucapkan sesuatu.

"Apa, Ka?" tanya Ara memastikan. Devan menggeleng.

"Yaudah, permisi!" pamit Devan kemudian pergi. Ara menatap nanar punggung Devan yang semakin menjauh.

Devan sedang berbaring di kamar hotelnya sambil memainkan ponselnya. Devan terus memandangi layar ponselnya. Di layar ponselnya itu tertera kontak Key. Devan sedang memikirkan apakah ia harus menghubungi Key atau tidak. Jujur, ia merindukan Key tapi disatu sisi ia telah berjanji pada Alvin untuk tidak menghubungi ataupun menemui Key lagi.

Akhirnya Devan memutuskan untuk menghubungi Alvin.

"Gue di Jakarta," kata Devan to the point ketika Alvin menerima panggilannya.

"Lalu?" tanya Alvin.

"Jagain Key kalo lu bener-bener gamau dia ketemu gue," ucap Devan kemudian memutuskan sambungan.


Bersambung


Tanda Cinta


BabyFN

Tentang RasaWhere stories live. Discover now