1. Calon Kakek Baru?

64.1K 6.2K 467
                                    

Ini part satunya. Silakan ketuk gambar bintangnya untuk memberikan dukungan untuk cerita ini. Ketik komentar kalian dan tunggu chapter selanjutnya.

Selamat membaca. 👇

*
*
*

Aku membalas lambaian tangan teman-temanku yang juga tengah bergembira bersama keluarga dan sahabat-sahabat mereka yang berkumpul. Meski agak susah berjalan, tapi aku tetap senang. Setidaknya, hari ini satu pencapaian lagi dalam hidup sudah berhasil kugapai. Tinggal sedikit lagi untuk menapaki cita-cita yang kuimpikan sejak dulu.

Dengan mengapit lengan Dimas, adikku yang kini tingginya menjulang melebihi aku yang hanya sebatas bahunya saja, kami berjalan menuju keluargaku yang sudah menunggu di pelataran parkir. Senyum masih terus dipatri di bibirku, membuat jalanku terasa ringan walau aku memakai sepatu hak tinggi hari ini. Toga yang kupakai hari ini rasanya tidak mau kulepaskan. Akhirnya, setelah empat tahun berjuang, aku jadi sarjana juga. Rasanya hilang semua dendam kesumat pada dosen yang hobinya kabur-kaburan saat aku sibuk mengurusi skripsi kemarin.

Kucium lagi buket bunga yang dibawakan Bapak tadi, sebelum pamit untuk menemui Eyangku yang ternyata benar-benar menyempatkan diri datang jauh-jauh dari desa untuk melihat cucu perempuan pertamanya jadi sarjana. Sementara Dimas membawa bunga yang lain dan hadiah-hadiah yang diberikan oleh beberapa teman.

Rasanya menyenangkan, bukan hanya karena aku bisa menyenangkan diri sendiri, tapi juga membuat orang lain senang.

Dari kejauhan, aku bisa melihat Bapak dan Ibu yang berbicara dengan Eyang yang hari ini tampak berbeda dari biasanya. Walau masih memakai kebaya, tapi hari ini terlihat lebih cantik meski keriput dan kacamata tidak bisa membohongi. Pasti Eyang sedang memberikan wejangan-wejangan seperti biasanya lagi.

Aku mendengkus lirih, kemudian tatapanku beralih pada seorang pria yang tampak paling cerah di antara mereka berempat. Seketika itu aku tertawa pelan.

"Eyang bawa sopir, Dim?" tanyaku pada Dimas yang diam saja dari tadi.

"Sopir mana?"

"Itu, yang diem aja di samping Eyang," tunjukku pada pria yang kutaksir berusia awal tiga puluh.

Dimas hanya mengulum senyum, mengeratkan pegangan tanganku di lengannya dan menyeret langkah lebih cepat menuju mereka berada.

"Nah, ini sudah sampai, Bu," kata Bapak seraya menunjukku. Eyang terlihat mengamatiku dari balik kacamatanya.

"Iki kurungan ayame dicopot sek to, Nduk! Eyang yo ora iso weruh koe nganggo jarik!" (Ini kurungan ayamnya dicopot dulu sih, Nduk! Eyang ya tidak bisa lihat kamu pakai jarik!) tunjuk Eyang pada baju toga yang kupakai. Membuatku mendengkus keras.

"Nanti dong, Eyang. Kan belum sampai rumah," belaku. Aku belum mau melepaskannya sebelum berfoto di depan rumah bersama Nore, kucing kampung berwarna oranye yang kubesarkan seperti anakku sendiri.

Mendengar jawabanku, Eyang mencebik, tapi tidak lagi menyanggah. Lalu tatapannya berubah saat mengalihkan pandangan pada pria di sampingnya.

Apa jangan-jangan ... dia itu calon Eyang Kakungku yang baru?!

"Maafin Ayu ya, Mas Aji. Dia memang begitu. Tapi aslinya kalem, kok, baik," kata Eyang berpura-pura. Padahal aku tahu, dalam hati pasti Eyang membantah semua itu.

Aku tidak pernah bisa bicara tanpa urat timbul saat bersama Eyang. Pasti ada saja kesalahanku dalam bersikap maupun bicara di depan beliau. Dari yang aku urakanlah, kurang sopanlah, sampai yang paling sering adalah cara berpakaianku yang menurutnya sangat tidak sopan.

Not A Wedding ScenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang