2. Tradisi Keluarga

40.9K 4.7K 210
                                    

Aku kembali bawa Ayu, nih!

Coba kita lihat, seberapa antusias kalian sama cerita ini. Insyaa Allah, aku bakal post cerita ini secara teratur, tapi bukan setiap hati, kalau moodnya baik dan sambutan atas cerita ini juga bagus.

Selamat membaca!

*
*
*

Sejak perdebatanku dan keluarga, terutama Eyang yang tetap ngotot mau aku menikah saja, aku memilih untuk mengurung diri di dalam kamar. Riasanku sudah amburadul karena air mata yang tidak berhenti keluar sejak tadi. Hidungku penuh cairan, lengket dan menjijikan. Kepalaku pening, mataku perih, juga perutku yang mulai keroncongan.

Aku tidak akan sudi keluar dari kamar ini sebelum Eyang minta maaf padaku. Sudah seenaknya saja menentukan nasib hidupku seperti sutradara. Padahal kan, aku maunya bekerja dulu setelah selesai kuliah. Buat apa aku kuliah dan dapat ijazah sarjana kalau ilmu yang kudapat sia-sia?

Tapi memang dasarnya nenek tua itu semaunya sendiri. Tradisi apa yang masih bertahan sampai sekarang tapi menyengsarakan seperti ini?

Aku tahu, mungkin dulu, di zamannya Eyang muda itu perjodohan adalah hal lazim. Mungkin juga di era modern seperti sekarang juga masih banyak penganutnya, tapi aku bukan penganut perjodohan, apalagi tradisi yang dianut oleh leluhurku terdahulu.

Aku adalah orang yang berpikiran terbuka. Menikah bagiku memang kebutuhan, kewajiban dan suatu ibadah yang nilainya tidak bisa digantikan dengan ibadah apapun. Maka dari itu, aku ingin semuanya terjadi atas dasar kemauan hatiku sendiri. Aku yang memilih, aku yang menjalani. Bukan dijodohkan seperti ini!

Bapak dan Ibu memang menikah atas dasar perjodohan, tapi itu setelah mereka ditanya mau atau tidak untuk melanjutkannya. Bukan atas paksaan seperti ini!

Rasanya duniaku runtuh seketika saat tiba-tiba di hadapanku muncul visualku di masa depan. Aku yang memakai daster lusuh dengan rambut dicepol asal, menggendong balita yang sedang menangis dan ingus meleber kemana-mana, menepuki wajahku dengan kaki menghentak-hentak. Sementara aku sibuk membolak-balik gorengan di atas wajan.

Aku belum mau terlihat seperti itu! Rasanya menyedihkan sekali, saat pernikahan yang digadang-gadang akan membawa kebahagiaan justru membuatku tersiksa dan beralih menjadi pembantu dan pencetak anak.

Suara ketukan di pintu kamar membuat tangisku berhenti sementara, sebelum mendengar suara Ibu yang kini terasa sangat menyebalkan di telinga.

Aku pikir Ibu akan membelaku dan meminta Eyang untuk membatalkan niatnya untuk menjodohkanku dengan Aji-Aji itu, tapi Ibu justru memintaku untuk menerimanya dan mengatakan bahwa semua ini demi kebaikanku. Kebaikan apa yang diawali dengan tangis penyesalan seperti ini!

Kalau saja aku ingat bahwa dulu, Eyang sudah pernah mengatakan bahwa akan menjodohkanku dengan pria pilihannya, aku pasti akan melarikan diri sebelum bertemu dengan beliau tadi siang. Aku bisa saja tinggal di rumah Febi untuk sementara waktu, toh kami masih akan menganggur sampai waktu yang belum ditentukan. Febi yang lebar hatinya itu pasti iya-iya saja saat aku merengek untuk jadi parasit sementara di hidupnya.

Tapi penyesalan memang datang belakangan. Sekarang aku jadi menyesal, kenapa aku yang perempuan ini lahir dari keturunan Sulastri itu. Eyang pasti tidak akan pusing memikirkanku yang merajuk seperti ini. Bisa makan enak seperti biasa dan sedang menyiapkan kalimat-kalimat nyinyirnya lagi untukku nanti.

"Ayu, ayo buka dulu pintunya dong, Nduk. Ibu mau bicara," tutur Ibu entah untuk yang keberapa kalinya.

Aku menengok ke jendela, sialnya, di lantai dua ini bawah kamarku adalah taman kecil milik Ibu yang aku tahu rak-rak tempat potnya terbuat dari besi baja. Kalau aku nekat untuk turun, maksudku lompat ke sana, pasti akan berakhir di rumah sakit karena cedera.

Not A Wedding ScenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang