3. Denial

34.6K 4.2K 199
                                    

Selamat malam 🐈
Nore mau menyapa kalian, boleh?

Jadi ini kemarin habis update, malam ini update lagi, ya. Senang?

Btw, big thanks to mamaknya Pablo Azuraaa_ yang sudah mempromosikan cerita ini dan meramaikan bareng mawar bantalbiru seharian ini.

Terima kasih juga buat kalian yang antusias dengan cerita ini.

Part ini Mas Aji masih jadi gandenganku, ya. Jangan dipanggil-panggil terus. Cemburu akutu sebenarnya sama Ayu 😥 tapi gimana lagi lah.

Ya sudahlah, silakan dibaca ya. Vote jangan lupa. Komeb boleh, tapi jangan nagih. Nanti kalau ditagih aku hibernasi saja sama Mas Aji.

*
*
*

"Terus lo mau gimana, Yu? Nentang Eyang?"

Aku menggeleng. Benar-benar tidak tahu dan sudah tidak sanggup untuk merencanakan hal-hal lain selain pasrah.

Febi datang setelah malam sebelumnya kutelepon dan kuceritakan semua yang terjadi padaku. Takdir buruk yang Eyang ciptakan seperti bom waktu yang seminggu lagi akan meledak padaku. Masa mudaku akan tinggal kenangan dan aku akan mengucap selamat datang pada kawan baru bernama pernikahan.

Rencananya, hari ini aku akan dibawa ke Puskesmas setempat untuk pemeriksaan wajib bagi setiap pasangan yang akan menikah. Aku meminta Febi untuk menemaniku walau ada Ibu yang pasti akan menjadi seksi sibuk sejak kemarin. Menyiapkan ini dan itu, telepon sana telepon sini. Aku hanya diam mengamati. Betapa bersemangatnya keluargaku menyiapkan semua ini.

Kuhela napas pelan, menandangi Febi yang melahap soto buatan Ibu dengan begitu bersemangat. Kuah panas dan pedasnya membuat Febi berkeringat tapi tidak menghentikan kunyahan.

"Kalau gue jadi lo, gue terima aja sih, perjodohan itu. Lagian, belum tentu habis lulus gini kita langsung dapat kerjaan, Yu. Lo juga tahu, gaji guru baru kayak kita tuh seberapa, sih? Bisa buat beli pulsa kuota sebulan saja sudah syukur, Yu."

Pengibaratan yang diambil Febi membuatku kembali menghela napas.

"Bukan itu masalahnya, Feb. Kalau itu sih masih bisa diakalinlah, kita nyambi jualan apa kek, kan banyak tuh sekarang orang-orang pada jualan online. Kali saja lo bikin mendoan bumbu rujak dipasarin online jadi laku keras kan lumayan."

Febi mencibir, tapi tidak mengatakan apa-apa. Aku menatapnya malas. Aku butuh dia di sini untuk jadi tong sampah segala unek-unek di kepalaku, bukannya melihatnya makan lahap, sementara aku untuk makan saja menunggu lapar sekali baru buka piring.

"Lagian nih, ya, lo harusnya bersyukur, Yu. Calon laki lo sudah lulus kualifikasi dari keluarga lo, sudah dapat restu. Belum tentu pas lo ngenalin calon yang lo bawa sendiri bakal dapat restu kayak gitu."

Aku mendelik sebal. Febi hanya mencibir lagi. "Lo kebanyakan mikir, yang ada tuh dijalani. Enak lagi punya laki di usia kita sekarang. Nanti punya anak jadi nggak ketuaan, Yu. Masih kuat kalau mau punya anak banyak."

"Lo pikir nikah buat punya anak doang? Setahun hamil sama lahiran, kayak pabrik bayi dong, gue?"

Febi tertawa, kemudian terbatuk karena tersedak kuah soto. Aku mendengus dan membiarkan ia minum banyak untuk meredakan batuknya.

"Gila, pedes banget, Yu! Rugi lo sok-sokan ngambek nggak jelas, nolak makan. Yang ada nanti kebaya lo kondor kayak dipakai orang-orangan sawah!"

Aku memukul kepalanya dengan gemas. Febi memang ceplas-ceplos, tapi dia baik, makanya aku bersahabat dengannya.

Not A Wedding ScenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang