4. Tertampar Logika

34.6K 3.9K 131
                                    

Jadi kepengin ngakak, tapi bikin mules. Seriusan deh, tadi salah mencet. Maaflah, ya, habisnya masih di awang-awang antara ngantuk sama habis marahin Nore naik-naik meja 😂😂

Sebagai permintaan maaf dan terima kasihku, ini kupersembahkan Ayu lagi. Maaf ya, Mas Aji kan masih dipingit, jadi belum bisa menyapa kalian semua ☺ part besok deh, ketemu calon imamque!

Jangan lupa, vote & komennya gaes, tapi jangan komen nagih lanjut. Next! Next! Lo pikir gue spg nextar! Share juga ke teman-teman kalian biar pada ikut membaca kisah Ayu ini, ya. Makasih loh sebelumnya, nanti kusampaikan pesan kalian ke Eyang Sulastri, siapa tahu beliau punya Aji-Aji yang lain.

Monggo diwaos.

*
*
*

Bicara dengan Eyang setelah mogok ketemu beliau berhari-hari adalah hal yang canggung kulakukan. Tapi aku tidak bisa marah lagi pada beliau.

Benar kata Bapak, Eyang melakukan ini karena sayang padaku. Aku cucu perempuannya yang pertama. Jelas saja mendapat semua perhatian lebih darinya. Termasuk soal jodoh yang beliau persiapkan sendiri untukku.

Pagi ini, Eyang duduk menikmati sarapan paginya yang sederhana. Nasi merah dengan sayur bayam jagung buatan Ibu. Seperti nenek-nenek pada umumnya, Eyang sudah ompong gigi dan sulit mengunyah makanan yang keras. Jadi selain bubur, nasi dan sayur berkuah adalah solusinya.

Mata beliau melirik ke arahku, tapi tidak menghentikan acara makannya yang santai. Membiarkanku mengambil sendiri sarapanku dan aku memilih roti dengan selai cokelat kesukaanku pagi ini.

"Makan itu pakai nasi, Nduk, biar kenyang. Jangan kayak orang bule, makannya roti," komentar Eyang pedas, padahal aku baru mengoleskan selai seujung pisau pada lembar rotiku.

"Lagi nggak kepengin nasi, Eyang," belaku.

"Kamu itu, kalau apa-apa nggak kepengin, apa-apa nggak mau, terus semua kemauan kamu harus orang lain mau? Begitu?"

Aku menelan ludah. Baru saja ingin berdamai dengan beliau, tapi pagi-pagi sudah dihadapkan dengan kalimat nyinyit beliau lagi.

"Bu, kok pagi-pagi sudah marah-marah, sih? Nanti tensinya tinggi lagi, pusing lagi," tegur Bapak yang baru datang bergabung.

"Ya anak kamu ini lho, Eko, susahnya minta ampun diajarin ini nggak mau, dikasih tahu itu ngeyel. Besok tahu rasa kamu, Yu, punya anak susahnya sama kayak kamu!"

Aku memejamkan mata, menetralisir gemuruh di dada.

"Ibu kok ngomongnya gitu? Ibu mau Ayu punya anak yang susah diatur?" Ibu membuka suara, ada nada tidak senang di dalamnya yang terbungkus dengan sopan.

"Yo ndak, Mar, tapi anakmu itu susah sekali diatur.Mbok ya manut kalau orang tua ngasih tahu, Nduk ... Nduk."

"Aku nggak jadi sarapan," kataku seraya meninggalkan meja makan.

Napsu makanku langsung raib saat mendengar Eyang lagi-lagi berkata seperti itu. Seolah aku adalah anak yang sangat sulit diatur. Selalu menyusahkan orang tua dan hal buruk lainnya.

Aku yang inilah, aku yang itulah. Padahal aku selalu menuruti kemauan Eyang. Sejak kecil, aku bahkan selalu tidur dengan beliau tiap kali beliau datang ke sini atau saat aku pulang ke desa. Didongengkan cerita masa lalu sambil ditepuk-tepuk punggungku atau dinyanyikan tembang Jawa sambil bergumam. Dikepang rambutku seperti anak perempuan kebanyakan, karena kepangan Eyang lebih bagus dari buatan Ibu.

Eyang juga yang mengajariku semua tata cara bersopan santun kepada orang tua dengan benar. Diajari berbahasa Jawa, walau sekarang hampir tidak bisa lagi kulafalkan dengan benar seperti dulu. Apalagi mengingat huruf-hurufnya yang sudah lama sekali tidak kupelajari. Karena walau tidak sekolah, tapi dulu Eyang rajin belajar agar tidak menjadi bodoh. Sampai sekarang, ingatan Eyang bahkan masih kuat untuk mengajarkan kembali apa yang dulu beliau ajarkan padaku.

Not A Wedding ScenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang