BAB 4

67 10 7
                                    

Saat itu tiba-tiba kelam, gelap melanda langit yang sebelumnya cerah dan sedetik kemudian ada cahaya di sudut sana. Menerangi sesuatu yang berwarna putih, bentuknya seperti dipan kayu panjang. Dan diatasnya, mudah sekali ditebak. Seperti orang, yang ditutupi oleh kain putih.

Aku mendekat perlahan, aku beranikan diri. Jiwa itu terlihat kecil, aku pun membuka kain yang menutupi bagian kepala. Sejenak aku terdiam, tenggorokanku tercekat. Urat-urat leherku pun menegang. Aku ingin teriak namun tertahan.

Dalam sekejap ruangan itu ramai oleh keluarga yang menangisi jiwa itu, dingin tak bernyawa.

Aku pun menangis sejadi-jadinya, "AAYAAAHHHHH!!!" Aku menggerung-gerung dalam tangisanku. Rasanya dada ini sakit sekali, sesak.

Aku tak menyangka jiwa itu adalah ayahku. Aku tak siap! Tubuhku seperti remuk. Lemas.

"Nis.. Nisryna !"

Aku sembari sesenggukan, membuka mataku perlahan. Astaghfirullahalladzim ternyata itu mimpi!

Bagaimana tidak, rasanya seperti kenyataan. Aku seperti benar-benar masuk ke dalam mimpi itu.

"Kamu kenapa Nis? Aku dengar tadi kamu manggil-manggil ayahmu" kakak kosku yang membangunkan aku itupun menatapku dengan cemas sembari menyodorkan air putih hangat.

Aku mengatur nafas sebentar, serta mengusap air mataku yang membasahi bantal. Ya Allah, malah seperti pulau.

Sekali lagi, kakak kosku menyodorkan air putih yang tak kusentuh itu. Aku pun segera tersadar untuk bangkit, aku ambil air putih itu dan kuteguklah hingga habis.

"Kamu enggak apa-apa kan? Mimpi buruk ya?" Tanyanya lagi.

Aku mengangguk, "aku mimpi ayahku pergi kak, sesak banget rasanya" ucapku sembari memejamkan mata, mengulang kembali ingatan mimpi yang baru saja mendatangiku.

"Enggak apa-apa dek, semoga itu hanya bunga tidur. Kamu coba solat tahajud deh, mumpung sekarang masih jam 3 pagi" ucapnya sambil tersenyum yang entah kenapa begitu menenangkan.

Aku ikut tersenyum dan mengangguk, kakak kosku itupun pergi, sebelumnya dia meletakkan gelas di nakas sebelah tidurku.

Tak menunggu lama, aku berdiri dan segera mendatangi kamar mandi. Aku mengambil air wudhu, dan melaksanakan sholat tahajud.

"Ya Allah, biarkan saja mimpi ini sebagai bunga tidur. Sebagai pengingatku akan kematian, dan pengingatku pula untuk pentingnya berbakti dengan kedua orangtuaku. Ya Allah Ya Rabb. Ampunilah dosa orangtuaku, berikanlah hidayahmu kepada keluargaku agar selalu berada di jalan yang lurus. Kumpulkanlah kami di surgamu ya Allah. Aamiin"

🎬🎬🎬

Jam sudah menunjukkan pukul 06.00 WIB, aku pikir orang rumah pastilah sudah bangun. Aku segera membuka hand phoneku dan segera menekan tombol telepon. Aku takut akan mimpi itu.

"Assalamu'alaikum, gimana Nis?" Sapa seseorang di seberang telepon sana.

"Waalaikumsalam, gimana kabar mah? Ayah? Kak Aisyah? Sehat?"

"Alhamdulilah, sehat nak. Kamu sendiri gimana?" Aku menghembuskan nafas lega.

Setelah basa basi sebentar, serta melaporkan agendaku hari ini kepada orangtuaku. Aku mematikan telepon. Lalu segera bersiap-siap untuk berangkat kuliah.

Sudah menjadi kebiasaanku, setiap pagi untuk melaporkan apa yang akan aku lakukan hari ini. Bagaimanapun juga, orang rumah pasti juga merindukanku. Apalagi orangtua mana yang tidak bahagia ketika kita melakukan hal yang memberi kesan kita sangat menghormatinya, serta membutuhkannya.

Mahabbah NisrynaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang