Satu || Namanya Ainun

513 45 3
                                    

Fauzy Baliq Mufid. Anak keempat dari pasangan Alif Abdul Wafa dengan Alya Nurul Lathif yang sangat berbeda dengan saudaranya yang lain. Sifatnya lebih mendominan dengan ibunya, yang dahulu. Bahkan saat kedua kakaknya lebih memilih pesantren, ia lebih memilih sekolah biasa seperti anak yang lainnya. Alasannya satu, jangan karena ia anak dari seorang profesor sekaligus ustad mengharuskannya untuk pesantren, ia ingin seperti anak yang lahir dari keluarga yang bukan siapa-siapa. Menurut pria berumur delapan belas tahun itu semuanya sama, tidak ada bedanya.

Pagi itu seperti biasanya Alya selalu menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilnya walau mesti dibantu oleh asisten rumah tangga. Fauzy dengan santainya duduk dan langsung makan tanpa menunggu siapapun.

"Fauzy!" Sapa Alif yang terdengar ditelinganya. Ia menatap sang ayah dengan rasa penasaran. Oh sial apakah ayahnya tahu bahwa kemarin ia kembali berulah?

"Sudah sampai mana hapalannya? Gak malu sama adik kamu?" Diam-diam Fauzy menghembuskan nafas lega. Untung hanya membahas soal hapalan qurannya. "Meski sudah hapal tiga puluh juz kamu harus tetap kembali menghapal supaya tidak hilang." lanjut Alif.

"Ya abi. Mungkin nanti malam Uzy setor sama abi."

"Ah abang, nanti malam terus. Ujung-ujungnya juga abang suka kabur kan?" Sahut Ismi sang adik yang menimbrung obrolannya bersama Alif. Alya hanya tertawa kecil.

"Abi. Uzy janji nanti malam." Seru Fauzy sambil mengangkat tangannya dengan jari yang membentuk huruf V seolah ia tengah menegaskn pada Alif bahwa kali ini ia bersungguh-sungguh dengan ucapan dan janjinya.

"Uzy. Nasi gorengnya belum habis." Seru Alya saat melihat Fauzy melesat meninggalkan ruang makan. "Anak itu.." gerutunya.

"Alya, mas berangkat dulu." Pamit Alif pada Alya.

"Iya. Hati-hati mas." ucap Alya sambil mencium tangan Alif. Begitupun Ismi yang mencium tangan kedua orang tuanya.

***

Meski telah diberi motor oleh Alif namun Fauzy tetap tak bisa membawa kendaraannya jika masih mengenakan seragam sekolah. Itu sudah menjadi peraturan Alif pada anak-anaknya. Ia paling tidak ingin menaiki mobil bersama sang ayah. Bukan karena ia tidak suka, melainkan ia paling senang berkendara dengan angkutan umum atau bus way.

Hobinya menggambar. Dimanapun dan kapanpun ia pasti selalu menggambar. Apapun keadaannya ia selalu menggambar tak terganggu dengan keadaan disekitarnya. Mungkin karena bakat dari Alya menurun padanya.

Fauzy yang duduk di dekat jendela menoleh pada gadis berhijab disampingnya.Tatapan menilai dari mata Fauzy terarah pada gadis disampingnya.

Kerudung panjang menutupi hingga tak terlihat apakah gadis itu sekolah menengah pertama atau menengah atas, namun dilihat dari rok rempel yang panjang dipakai gadis itu menunjukkan bahwa gadis itu masih sekolah menengah atas.

Belum lagi ia melihat kain hitam yang dipakai di tangan gadis itu dibalik seragam putih. Apakah gadis itu memiliki sebuah penyakit kulit? Atau ada sesuatu yang memalukan dikulitnya? Seragamnya sudah panjang mengapa gadis itu menambah pakaian hitam panjang?

"Maaf, jaga pandangan kamu." ucap gadis itu. Ia sangat risi atas apa yang dilakukan Fauzy terhadapnya.

"Ge-er banget sih lo." sahut Fauzy.

"Bukan begitu. Tapi—"

"Gak sekalian dicadar?" Tanya Fauzy seolah tengah mengejek gadis yang duduk disampingnya.

"Saran kamu bagus." Jawab gadis itu sambil tersenyum. Fauzy hanya mendelik kearahnya lalu kembali memfokuskan ke buku dan pensilnya.

Bus melaju dengan kecepatan diatas rata-rata. Sayup-sayup telinganya mulai mendengar suara orang sedang membaca Alquran. Bibirnya tersenyum. Baru kali ini ia melihat seseorang yang membawa Alquran dan membacanya diarea publik.

Colour Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang