Revolusi 3 (Kilasan)

63 22 101
                                    

Jangan lupa sempetin klik bintang ya, guyss.... ^_^
Terima kasih yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca cerita ini dengan khidmat. Hehe....

Happy reading buat semuanya...
Semoga kalian suka.

🍀🍀

Diammu menyimpan banyak rahasia. Maka dari itu, biarkanlah aku menjadi suara untuk menyampaikan segala rasa.

🍀🍀🍀

Now playing : Diskusi Senja - Fortwnty

     Desember, 8 tahun yang lalu.

     Berada di tempat baru bukanlah hal yang diinginkan oleh Bulan. Asing, itulah yang selalu ia rasakan. Bulan harus menyesuaikan dirinya, tidak kenal satu orangpun, dan tak mengetahui satu tempatpun untuknya melarikan diri, merupakan sesuatu yang sangat memuakkan bagi Bulan.

     Kematian ibunya yang mendadak membuat perasaan Bulan sangat terguncang. Gadis yang baru berusia enam belas tahun itu, merasa hidupnya hampa, tanpa rasa. Melihat orang yang kita sayangi meregang nyawanya di depan mata kita sendiri terasa sangat menyesakkan, hingga Bulan sampai lupa caranya bernapas untuk sesaat.

     Setelahnya, dunia bulan berubah seratus delapan puluh derajat dalam sekejap. Ibunya yang meninggal akibat overdosis obat-obatan, lalu ayahnya yang selama ini belum pernah ia lihat tiba-tiba muncul dalam hidupnya, lalu menggiringnya untuk tinggal bersama keluarga baru ayahnya. Mau menolakpun Bulan tak bisa. Ia hanyalah seorang anak yang menurut hukum masih tanggung jawab ayahnya.

     Selama ini Bulan hanya tinggal berdua bersama ibunya. Astuti bukanlah ibu yang cukup baik. Ia memang memberi makan dan menyekolahkan. Tapi saat emosi wanita itu memuncak, kerap kali Bulan menjadi bahan pelampiasannya. Pukulan, cacian, makian, jambakan, sudah sering ia terima. Bulan sudah terbiasa. Ia hanya diam tanpa mampu berkomentar.

     Bulan membenci kehidupannya. Sangat. Ia membenci ibunya yang memperlakukannya dengan buruk, membenci ayahnya yang entah dimana keberadaannya selama ini, juga..., membenci dirinya sendiri yang hanya membisu tanpa bisa berbuat apa-apa.

     Tapi kematian Astuti menyadarkannya, bahwa; ia tidak pernah benar-benar membenci wanita itu. Bahwa Bulan masih membutuhkan seseorang dalam hidupnya.

     Akhirnya setelah pengurusan jenazah Astuti selasai, dengan berat hati Bulan ikut ayahnya ke Jakarta, tinggal bersama keluarga tirinya. Karena merasa canggung, Bulan seringkali pergi secara diam-diam dari rumah. Ia hanya akan berkeliling kompleks perumahannya, atau hanya sekedar mencari tempat untuknya merenung, melepaskan segala gundah pada bisikan angin yang berhembus dalam keheningan.

     Sampai suatu hari, Bulan melihat sebuah bukit tak jauh dari rumahnya. Tanpa pikir panjang ia menghampiri. Menghabiskan berjam-jam waktunya hanya dengan menangis di sana. Tanpa isak, tanpa suara.
Menangis dalam keterdiaman yang terasa sangat menyakitkan.

     "Harusnya kalau mau pergi kabarin orang rumah dulu, biar mereka nggak khawatir karena anak perempuannya belum pulang sepetang ini."

     Bulan menoleh dengan ekspresi kaget. Menyadari bahwa bukan cuma dia yang berada di sini, juga memergokinya tengah menangis adalah hal yang sangat memalukan. Buru-buru Bulan mengusap pipinya kasar, menghapus segala jejak lukanya di sana.

     Cowok itu ikut duduk di atas rumput di sampingnya. Keringat mengucur dari pelipis, menandakan bahwa ia telah melakukan aktivitas yang melelahkan. Namun Bulan tidak peduli, ia memilih tidak menghiraukan dan tetap menatap pancaran jingga di depannya.

Revolusi Hati #wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang