J&J 1 : Junio

124 21 0
                                    

"Nggak bisa, Pa!"

Gue bilang begitu berkali-kali sama Papa. Ide gilanya itu bikin gue naik darah. Gimana gue nggak pusing? Ini Papa edan aja nyuruh kita pindah sementara gue posisinya kelas dua belas dan sekolah gue udah masuk masa-masa pemadatan sebelum UN. Nggak, gue nggak bisa gini. Pindah sama aja dengan menjadikan gue sebagai anak baru. Dan gue paling males mengulang semua dari awal kayak anak kelas sepuluh.

"Solo itu nggak serame Jakarta, Jun. Kamu biar bisa lebih fokus belajarnya." Oke, ini argumen Mama. Mereka semua nggak tahu rasanya jadi gue karena menurut mereka pindah artinya dapet tetangga baru, rumah baru, lingkungan baru, dan khusus bagi Mama dapet temen arisan plus temen gosip baru.

Gue nggak bisa gitu aja melepas semua yang gue miliki di sini. Temen-temen, pacar yang romantis, semuanya. Rasanya masih nggak rela ninggalin semua yang gue bangun pelan-pelan sejak kelas sepuluh. Sia-sia rasanya.

"Nggak apa-apa, Dek. Lagian Sela kayaknya juga paham."

INI NIH!

INI NIH!

KENAPA BANG ANDRA HARUS NGUNGKIT SIH???!!!

Gue mendengus. Iya, harusnya Sela juga paham. Kami sekeluarga terpaksa pindah karena Papa dipindahtugaskan ke salah satu SMP di Solo. Iya, bokap guru. Dulu waktu SMP gue bangga banget jadi anak guru. Temen-temen yang lain pada sibuk bimbel sana-sini, pulang malem, tugas seabrek sementara gue leha-leha di sofa depan tivi dengerin Papa jelasin materi siang tadi yang gue belum paham. Gratis. Dan nggak perlu serius juga. Boleh dibawa santai.

Tapi sekarang rasanya gue nyesel banget punya bokap seorang guru.

"Pa," gue ngerengek, udah persis kayak anak kecil. "Juni bisa ngekos disini. Jaga diri. Juni udah gede. Sayang banget kalau sekolah juga harus pindah. Mepet banget."

Papa menggeleng. "Jangan, Jun. Ini musim-musim rawan. Kalau kamu nggak diawasi Papa atau Mama, kamu pasti keluyuran tiap malam, lupa belajar, pacaran terus lupa waktu, bisa-bisa jadi anak nakal."

Gue ternganga. "Papa nggak percaya Juni?"

Bang Andra dengan laknatnya menjitak dahi Indah gue. "Drama mulu lo, Jun. Ngikut aja kenapa, sih. Ribet amat."

Gue meringis. YA LO NGGAK TAHU AJA YA BANG RASANYA JADI GUE.

Gue menghela napas, memilih menyerah. "Terserah. Tapi kasih waktu Juni buat pamit sama temen-temen."

Papa sama Mama ngangguk. "Kita pindahan Selasa, kok. Kamu Senin bisa masuk sekolah sementara rumah beres-beres. Barang-barangnya bakal dipindahin besok."

Gue menghela napas lagi. Bang Andra yang duduk di samping gue nepuk pundak gue singkat.

"Dah, main sono. Katanya mau pamitan."

Gue menoleh ke Bang Andra. Seriusan gue boleh keluar? Biasanya Sabtu atau Minggu libur sekolah gue dilarang banget sama dia buat keluar. Katanya biar gue bisa fokus UN. Entah kesambet apaan gue diijin keluar Sabtu begini.

"Seriusan, Bang?"

Bang Andra mengangguk. "Dah sono. Pacar lo butuh dikasih kejelasan."

Gue melesat ke kamar, mengambil kunci motor. Saat mau naik tangga gue sempetin buat mengumpati Abang gue yang sableng itu. "Sialan lo, Bang. Urusin pacar orang mulu. Sindirinya kapan cari pasangan?"

Bang Andra mengangkat bantal sofa, siap nimpuk gue. Ya gue dengan sigap melesat ke kamar. Bang Andra itu pelempar jitu. Untung kali ini cuma bantal yang dia lempar. Kalau sofanya sekalian? Langsung go Jannah bisa-bisa.

***

Gue nggak tahu apa yang terjadi di depan gue.

Gue memutuskan meluncur ke rumah Dian, dedemit sebangku gue yang masih satu komplek sama rumah gue. Rumahnya kosong. Melompong. Nggak biasanya rumahnya jadi kelihatan angker kayak gini. Biasanya rame banget ngalahin pasar malam. Gimana nggak? Ibunya buka toko baju online dan pegawainya itu bejibun.

JUNI dan JULI [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang