Baiklah, menjadi urutan pertama maju tidak seburuk itu. Semoga saja, angka satu menjadi angka keberuntunganku. Siapa tahu, nanti aku yang menjadi juara satu. Ah, Vetta, sudahlah jangan terlalu banyak halu.
"Matur nuwun," aku memberi hormat penutup.
Aku tidak kembali ke bangku penonton. Ada panggilan alam yang harus kupenuhi dengan segera. Langkah kakiku tergesa hingga tak sengaja menabrak seseorang yang sedang berkaca.
"Maaf, maaf, Mas. Saya tidak sengaja." Aku menundukkan kepala berulang kali sebagai tanda permintaan maaf.
Tak ada kata yang keluar dari mulut laki-laki itu. Hanya hembusan napas yang berpadu dengan bayu. Masker yang ia kenakan membuat aku tak dapat melihat jelas rupanya. Firasatku berkecamuk, semakin memburuk dengan naiknya bulu kuduk. Untung saja, Avy datang menyusulku ke kamar mandi. Tepat saat itu, laki-laki yang kutemui barusan langsung bergegas berlalu.
Setelah memenuhi panggilan alamku, Avy menemaniku kembali ke ruang utama lomba. Kutuai pandang ke jejeran kursi bagian belakang, dimana Rey tidak nampak eksistensinya di situ.
"May, Rey mana?" tanyaku pada Mayli yang asyik mengisi perutnya dengan biskuit bayi.
"Udah pulang," jawabnya singkat.
"Loh, emangnya dia udah tampil? Kan dia urutan terakhir," sasarku langsung dengan rasa terkejut berputar-putar di kepala.
"Gatau tuh. Katanya mau ada acara keluarga. Jadi, Bu Zia minta urutan tampilnya Rey ditukar sama aku."
"Terus? Kamu mau?"
"Ya, mau gimana lagi?" Mayli memasang muka pasrah.
Ada kelesah tak ramah yang singgah seketika. Perpaduan kecewa yang menyeruak karena tak bisa menyaksikan Rey unjuk gigi.
Ada pula pemikiran ganjil yang mampir tanpa permisi.
Rey gak ada hubungannya sama orang aneh itu kan?
"Kecewa ya gabisa nonton Rey tampil?" tebak Avy melewatkan basa-basi.
Aku tersenyum simpul. Dugaan Avy tak meleset.
"Eh tapi, Rey kayanya mampir sekolah dulu deh. Aku denger dia bilang sama Bu Zia mau ambil barang yang ketinggalan di kelas," celetuk Mayli.
Sekolah selalu tutup di hari Minggu seperti ini. Aku penasaran dengan barang yang dimaksud Mayli. Seberapa penting barang itu buat Rey sehingga dia tak bisa menunggu datangnya Senin.
"Aku bakal balik lagi buat lihat kamu tampil. Sebelum itu, aku harus ketemu Rey. Ada sesuatu yang butuh penjelasan," ucapku.
"Kamu mau menyatakan perasaan?"
"Tak mungkin aku seberani itu. Lagipula, tak semua perasaan harus bersama pemiliknya," aku melempar senyum ke arahnya dan dibalas dengan kerutan kening tak mengerti.
"Ta, aku ikut ya!" Avy menyusul dari belakang. Lagipula, jarak tempat lomba dengan sekolah tidak begitu jauh.
🍁🍁🍁
Setelah kakiku terjejak di halaman depan sekolah, pandanganku teralih pada penjaga sekolah yang sedang tertidur di posnya.
"Permisi Pak," aku mengetuk kaca depan posnya.
Hening, tak ada jawaban. Bahkan, saat ketukanku bertambah cepat dan kencang, sang penjaga sekolah masih terlelap di tempat.
"Ada yang gak beres," Avy melesatkan praduga setelah menyadari bahwa pintu masuk pos terkunci rapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Someone From My Past
Teen FictionAwalnya, hidup seorang Evetta sebagai siswa SMA berjalan baik-baik saja. Namun, semua itu berubah saat siswa baru datang ke kelasnya. Mulai dari teror surat hingga tragedi yang menimpa satu per satu temannya memaksa Evetta terjun langsung dalam se...