Warning!
Semua latar dan tokoh di cerita ini hanyalah unsur fiksi belaka"Mom aku pulang!" seruku setelah mengetuk pintu. Hari yang panjang ini benar-benar menguras energiku. Memikirkan keterkaitan antara Trio Kwek-Kwek dengan Clovis ditambah teka-teki mengenai pengirim email misterius itu.
Mom duduk di ruang tamu sambil geleng-geleng kepala. Di tangannya, nampak sebuah piala dan sertifikat juara.
"Wih keren, Mom menang lomba apa nih? Lomba ibu paling hits? Atau lomba siapa yang paling suka ngomel?" kelakarku menggoda Mom.
Tatapan Mom menjurus dengan kedua alis terangkat. Matanya bergerak cepat dari atas sampai bawah lalu kembali lagi menatapku.
"Sayang, kamu ke mana aja sih? Sampai Bu Zia repot-repot kemari untuk mengantarkan hadiahmu."
"Hadiah? Emangnya aku menang lomba apa, Mom? Lomba bucin sedunia? Wah keren! Akhirnya hobi aku berfaedah juga."
Mom kembali berdecak pelan. Rasanya, tekanan darahnya hendak melambung tinggi seumpama shuttlecock yang dipukul seorang pebulutangkis.
"Kamu ini bercanda terus. Piala ini dari lomba kesenian daerah. Jangan bilang kamu lupa lagi."
Aku melepas napas yang tertahan begitu kalimat terakhir selesai diucapkan. Mataku berbinar cemerlang, untungnya hal baik seperti ini tak menunda waktu datang.
"Sayang?"
Mom berdeham pelan memberi jeda antar frasa yang dikira semakin tak enak lisannya angkat bicara.
"Temanmu ada yang bernama Rey?"
Jantungku berayun seakan habis dipukul punchbag yang menggegerkan kesadaranku. Lamunanku terhempas di perbatasan nada bicara Mom selanjutnya.
"Kamu kenal dia ya?"
"D-dia ... cuma teman biasa," jawabku sekenanya.
Tatapan Mom menyusupi korneaku, berusaha mencari fakta terselubung di balik permainan mata yang menutupi sebuah dilema bernama dusta.
"Kenapa Mom tiba-tiba tanya tentang Rey? Mom kenal?" Aku membalik peran menjadi pewawancara. Kebetulan yang terlalu kebetulan. Pradugaku berdenyut Mom tahu sesuatu.
"Mungkin."
Mom memijat kening. Sedang aku hanya terdiam, mengurai satu demi satu perasaan cemas.
"Maksudnya mungkin, Mom?"
"Kamu tau tanggal lahirnya? Atau hal-hal spesifik tentangnya seperti keluarganya tinggal di mana, punya berapa saudara, ada riwayat penyakit apa begitu?"
Tanda tanyaku dilewatkan bagai angin lalu. Tergantikan dengan rentetan tanya lain yang berharsa menjangkau inti jawaban.
"Mom cocok banget jadi petugas sensus! Mom tinggal belajar akting aja," timpalku terbahak puas.
Aku menjentikkan jari, mengulas senyum jahil lainnya sebagai kedok untuk memperoleh clue lain dari sikap aneh Mom hari ini.
"Hati-hati Mom dia emang suka gitu. Habis dibaperin eh digantungin terus di-ghosting."
Aku curi-curi pandang ke arah Mom. Kerutan keningnya bertambah dalam, tergerus kesusahan yang terpendam.
"Lupakan saja, Sayang. Mungkin ini belum saatnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Someone From My Past
Teen FictionAwalnya, hidup seorang Evetta sebagai siswa SMA berjalan baik-baik saja. Namun, semua itu berubah saat siswa baru datang ke kelasnya. Mulai dari teror surat hingga tragedi yang menimpa satu per satu temannya memaksa Evetta terjun langsung dalam se...