"DORRR!"
"Eh kecoak ayam goreng!" teriak Avy spontan dengan kedua tangan terangkat ke atas.
Semua pasang mata tertuju padanya. Ia pun menundukkan kepala sambil memukul lenganku pelan.
Aku yang masih sibuk membunuh musuh virtual tak menghiraukan pukulannya. Mataku tertuju lurus pada benda pipih yang sedang kumainkan.
"Dor! Rasain tuh siapa suruh nembak aku," ucapku penuh kemenangan.
"Akhirnya, Evetta laku!" jerit Avy girang.
Tangannya pun sibuk membuat pertunjukkan konser dadakan dengan menggebrak meja berulang-ulang. Dia salah paham dengan arti kata "nembak" yang baru saja kulontarkan.
Aku segera membekap mulutnya sebelum lambe turah miliknya berkata-kata lebih jauh.
"Maaf Pak, tadi di bawah meja ada kecoak makanya Avy panik deh," aku tersenyum pada Pak Rio yang entah kapan sudah menatapku tajam dengan penggaris panjang bertengger di tangannya.
"Tadi saya dengar, Avy tidak hanya menyebutkan kecoak tapi juga ayam goreng. Kalian meledek saya begitu?" kacamatanya sedikit diturunkan dengan mata terus menyipit ke arah kita berdua.
"Oh itu Pak. Tadi emang ada kecoak di bawah meja. Masalah ayam goreng, tenang aja Pak lagi digoreng sama Mail," celetuk Avy karena kehabisan alasan.
"Mail?" alis Pak Rio terangkat ke atas.
"Iya Pak, Mail dua singgit," aku menimpali dengan mempraktekkan gaya Mail berjualan.
Mendengar itu, Pak Rio menarik napas dalam-dalam. Dalam hitungan ketiga, beliau mengeluarkan magma amarah yang menyembur keluar,
"Ini pelajaran IPS bukan pelajaran mail dua singgit!"
"Kan di IPS ada ilmu ekonomi juga, Pak. Nah, Mail itu salah satu contoh pelaku ekonomi. Benar kan, Pak?"
Jawaban Avy barusan membuat Pak Rio mengelus dadanya berulang kali. Mungkin di pikiran pria paruh baya tersebut terjadi peperangan dua kubu, antara membenarkan tapi merasa gengsi atau menyalahkan tapi melawan fakta.
"Karena kalian tidak niat ikut pelajaran saya, lebih baik keluar saja!" telunjuknya mengarah ke pintu kelas.
Batinku terlalu lelah digempur terus menerus dalam perdebatan yang semakin memanas. Sebelum Pak Rio kehilangan muka, lebih baik aku dan Avy keluar saja. Semoga hati beliau lebih lega dengan ketiadaan kita di kelasnya.
"Akhirnya dapet bonus istirahat," Avy merebahkan tubuhnya di atas lantai dengan posisi telentang. Ternyata, kerinduannya akan pulau kapuk sebesar itu.
Mataku terus memindai dari lantai dua. Hingga di satu titik, mataku terpaku pada seseorang yang sedang menggulung lengan bajunya ke atas. Di lengannya, terukir tato yang sepertinya pernah kulihat di sebuah buku milik Mom.
"Vi, itu Clovis kan?" aku menarik tangan Avy yang masih bermesraan dengan lantai.
"Iya. Tadi aku dikasih tau Rey katanya dia ambil izin seminggu soalnya neneknya sakit keras," Avy melirik sekilas lalu tertarik gravitasi kembali.
"Oh ya, denger-denger dia yatim piatu sih," tambah Avy sebelum matanya terpejam.
Keningku berlipat-lipat, mencoba mencerna segala informasi mentah yang kuterima.
Salah satu pertanyaan ganjil menyembul keluar dari permukaan batinku.Darimana Rey tahu informasi itu? Rey kan tidak akrab dengan Clovis
Mataku tetap mengawasinya dari kejauhan. Gerak-geriknya mencurigakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Someone From My Past
Dla nastolatkówAwalnya, hidup seorang Evetta sebagai siswa SMA berjalan baik-baik saja. Namun, semua itu berubah saat siswa baru datang ke kelasnya. Mulai dari teror surat hingga tragedi yang menimpa satu per satu temannya memaksa Evetta terjun langsung dalam se...