"Clovis?" bibirku mulai bergetar mengucapkan nama itu. Abjad yang terucap kian terlesap oleh sebuah nama.
"Kenapa? Gak percaya sama aku?" wicaranya mulai dingin kelabu.
Semuanya memudar, kosong sejauh mataku menerawang. Ada getaran hebat yang membelenggu kala aku menggelengkan kepalaku sebagai respon untuk pertanyaannya.
"Kamu terlalu polos, Ta. Gak semua orang yang ramah sama kamu adalah orang baik. Kamu salah tentang Clovis!"
"Dan aku juga salah tentang kamu, Rey!" Sungai duka di pipiku semakin basah.
"Lucu ya. Kita satu semesta, tapi gak satu rasa."
"Kamu lupa, Rey. Semesta tak hanya mempertemukan, tapi juga memisahkan. Dan rasa tak hanya tentang kebahagiaan, tapi juga keikhlasan."
Rey mengenakan kembali tasnya, berjalan gontai ke arahku. Saat kita kembali bersisian, bincang yang hendak terucap pun mengambang.
"Rey," panggilku terbata.
"Apa yang kamu lakukan pada penjaga sekolah?"
Angin menerbangkan hening ke setiap inchi jarak yang terbentang. Ia terdiam di tempatnya, pun aku yang kehabisan kata.
"Ini hari Minggu, Ta. Aku hanya membantu dia beristirahat sejenak."
"Kapan ia akan bangun?" Bulir di mataku turun, dituntun pahit yang kentara dari bahasa netra.
"Ketika ia mau dan siap."
Aku penasaran, jika Rey adalah langkah yang mampu aku hindari sejak awal, akankah semua berbeda?
"Kamu spesial, Ta. Aku tahu, semesta memberikan jati diri yang unik padamu."
"Rey yang kukenal tidak akan pernah menyakiti siapapun!" Aku menyeka air mata yang menambah debitnya.
"Mungkin kamu belum mengenalku sepenuhnya."
Telunjukku bergetar menunjuk tepat wajahnya.
"Vettaa!"
Avy berlari dari kejauhan diikuti seorang polisi dan penjaga sekolah.
Aku menghapus asal rintik kecewa yang mulai deras. Kuremas jarikku kuat-kuat dengan mata memerah memandang sosok yang terasa asing di hadapan.
"Mulai sekarang, lupain Rey. Dia udah gak ada. Kalaupun kamu ketemu lagi, dia bukan orang yang sama."
Tepat setelah berkata demikian, Rey segera menutupi wajahnya dengan topeng dan kabur lewat halaman belakang. Rey sudah lenyap seperti ditelan perut bumi tepat saat Avy menjejakkan kaki di lokasi.
"Vetta, kamu gapapa?" Avy memeriksa tubuhku yang masih mematung.
"Kamu kenapa nangis? Apa orang jahat itu menyakitimu?" sambungnya dengan mengusap air mataku yang mulai mengering.
Aku menggeleng lemah. Pintu suaraku seakan terkunci. Penjelasan tidak dibutuhkan lagi di sini. Untuk terakhir kalinya sebagai sahabat, aku membiarkan Rey pergi tanpa diketahui.
"Kamu ketemu sama penjahatnya?" penjaga sekolah melontarkan pertanyaan curiga kala melihat wajahku sudah sembab.
Lagi-lagi, aku menggeleng sebagai jawaban. Bibirku terkatup rapat, sedikit bergetar menahan dusta yang hendak menyerebak keluar.
"Aku tau siapa pelakunya, Ta!" Avy berucap lantang.
Tarikan nafasku terhenti beberapa sekon.
"Siapa?"
"Max!"
"Bagaimana kamu tau?" timpalku terbata dengan sesenggukan yang tak kunjung usai.
"Tadi aku lihat Max keluar dari balik semak tepat saat kamu masuk. Aku curiga, Ta. Max udah lama gak ada kabar dan tiba-tiba dia muncul di tempat lokasi kejadian," ceplos Avy menambahkan argumennya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Someone From My Past
Novela JuvenilAwalnya, hidup seorang Evetta sebagai siswa SMA berjalan baik-baik saja. Namun, semua itu berubah saat siswa baru datang ke kelasnya. Mulai dari teror surat hingga tragedi yang menimpa satu per satu temannya memaksa Evetta terjun langsung dalam se...