Chapter 15

893 127 36
                                    

Mata yang sudah lama tertutup itu terbuka kembali, menyusuri setiap pemandangan yang tersedia dihadapannya.
Jemarinya bergerak pelan, mencoba membiasakan otot-otot yang masih kaku.

Chengxin sudah sadar, namun ia masih terlalu lemah untuk sekedar bicara.

"Chengxin ge!" Tianze adalah orang pertama yang menyadari hal bahagia itu.

Sedangkan yang lain menghambur kearah Chengxin, melupakan makanan yang belum mereka habisi.
Semua tersenyum senang, akhirnya hal yang mereka tunggu-tunggu terjadi.

Sedangkan Chengxin hanya diam menatap kosong pada langit-langit kamar.

"Ge.."

Pandangannya tertuju pada sang adik, yang pernah ia benci, dan ia selamatkan diwaktu yang hampir bersamaan.
Wajahnya tak berubah, hanya terdapat sedikit bekas luka. Masih tampan, baginya.

Kemudian ia memandang ketiga orang yang berdiri disampingnya, Jiaqi, Junlin, dan Jingyuan.
Chengxin harus bersyukur, karna ada orang yang mau menjaganya dalam masa kritis.

Padahal ia mengira semua akan meninggalkannya dalam kegelapan.
Seulas senyum tipis terukir dibalik alat bantu pernapasan yang terpasang diwajahnya.

"Ge, kau baik-baik saja?" Tanya Tianze.

Chengxin hanya mengangguk mengiyakan.
Tianze yang sudah memendam niatnya akhirnya tidak dapat menahannya lagi.
Ia memeluk gegenya yang masih terbaring, sedangkan Chengxin memejamkan matanya, merasakan kehangatan yang sudah lama ia tak pernah rasakan.

"Aku merindukanmu."

Dokter masuk untuk mengecek keadaan Chengxin.

"Ia sudah baik-baik saja, mungkin seminggu lagi boleh pulang." ujar dokter.

Semua tersenyum lega mendengarnya, tapi tidak dengan Chengxin. Ia pikir, kemana ia harus pulang? Ia tidak punya tempat tinggal.

Namun ia abaikan karena menurutnya ia masih memiliki waktu seminggu untuk memikirkannya.

.
.
.

Hari demi hari telah berlalu, ini adalah hari ketiga semenjak Chengxin sadar.
Dan keadaannya jauh lebih baik dari biasanya, kini ia sudah bisa duduk,  berjalan, berbicara, dan mengomel.

"Ge, aku tidak sabar menunggu minggu depan." ujar Tianze.

Kini hanya tersisa mereka berdua, Jiaqi, Jingyuan, dan Junlin sedang keluar.

"Kenapa?"

"Karena kau akan pulang, aku tidak sabar."

"Hah.." Chengxin menghela nafasnya.

"Ada apa ge?"

"Aku tidak akan pulang, Tianze. Tidak akan." ujarnya.

Tianze pun teringat akan hal yang pernah terjadi sebelumnya, ketika Chengxin diusir dari rumah.

"Tapi.. Kau akan pulang kemana?"

"Aku akan mengurusnya sendiri, jangan khawatir."

"Bagaimana aku bisa tak khawatir? Kau baru pulih dan ingin berkeliaran???" ujar Tianze khawatir.

"Hmm." Chengxin hanya menggumam, ia bingung ingin membalas apa.

.
.
.

"Dimana ruangan Chengxin?"

"Oh, ia ada diruang 123"

"Baik, terima kasih."

Pria tua itu melangkahkan kakinya menuju ruang 123, tempat Chengxin berada.
Dengan sebatang rokok yang masih setia dihisapnya.

Ia membuka pintu dan menemukan apa yang sudah lama tak ia temui.

....

Semua penduduk didalam ruangan itu terkejut bukan main ketika mereka melihat siapa yang membuka pintu.
Mata mereka otomatis membesar, dan mereka menelan ludah mereka secara kasar.

"A..ayah?"

Yang dipanggil tak menjawab, ia terus berjalan menuju Chengxin dengan eskpresi dingin dan datarnya, yang terkesan menyebalkan.

Plak!

Sebuah tamparan mendarat mulus dipipi Chengxin, menimbulkan bekas kemerahan.
Chengxin hanya menunduk kebawah dan memegang pipinya yang terasa panas.
Ia tak berani menatap lurus pada orang yang baru menamparnya.

"Kau benar-benar pembawa sial." lirih tuan Ding.

"Ayah! Jangan begitu! Ini bukan salah Chengxin ge!"

"DIAM! Aku sedang tidak berurusan denganmu! Tutup mulutmu atau kau tidak boleh menginjakkan kaki dirumah!"

"Lebih baik aku pergi dengan Chengxin ge!"

"Tianze.. Jangan."

"Oh! Jadi kau sudah jadi pengikut abangmu yang sebenarnya bukan abangmu hah? Bagus sekali Ding Tianze. Ayah bangga padamu, sangat." ujar Tuan Ding dengan senyum miring.

"Cukup ayah! Kenapa ayah sangat membenci Chengxin ge?! Kenapa?! Apa karna Chengxin ge bukan anak kandung kalian?!"

Oh tidak, Tianze keceplosan mengucapkan kalimatnya barusan.
Ia memandang Chengxin yang sedang menatapnya bingung, seakan meminta penjelasan.
Tianze menelan ludahnya kasar.

"Apa.. Maksudnya?"

"Sudah kuduga. Cepat atau lambat, kau pasti akan tau Chengxin. Biar kuperjelas..."

"... Kau, bukan Ding Chengxin. Bukan karena aku mengusirmu, tapi kau memang bukan anakku, atau ibumu yang sekarang. Margamu bukan Ding, kau hanya dititipkan ketika kau masih bayi. Sayangnya, orang tuamu meninggal ketika mereka hendak menjemputmu hahaha. Bukankah itu tandanya kau benar-benar anak yang sial?..."

"... Bahkan Tianze hampir mati ketika ia berada didekatmu, kan? Dan kau masih tidak sadar akan hal itu. Tolong Chengxin, aku tidak membencimu. Tapi, aku hanya tak senang ketika kau masuk kedalam hidup keluargaku. Terlalu banyak masalah yang terjadi."

Chengxin diam, menatap kosong pada lantai dibawahnya.
Sedangkan Jiaqi dan Jingyuan hanya menganga tak percaya mendengar omongan ayah Tianze.

Bagaimana bisa ia tertawa ketika memberitau Chengxin bahwa orang tuanya yang asli sudah meninggal?
Bukankah ia seorang psikopat?

"Tapi, itu bukan berarti Chengxin ge adalah anak yang sial. Bisa saja itu sebuah kecelakaan." ujar Junlin.

"Hm? Kau siapa adik manis?" Tuan Ding mengusap pipi Junlin, namun dengan cepat Jiaqi menariknya untuk berdiri dibelakangnya.

Tuan Ding hanya tersenyum dan menggeleng.

"Kenapa kalian memperlakukanku seakan aku adalah pembunuh?"

"Jika sudah selesai, harap pergi." ujar Jingyuan tegas.

Jangan lupa, ia adalah seorang petarung yang hebat.

"Ehm, sebentar, tampaknya masih ada yang harus aku bicarakan.."

"Chengxin..."

"....Berhenti mengganggu keluargaku. Kami sudah bahagia, tanpamu." ujar Tuan Ding tajam dan meninggalkan ruangan itu.

Tbc.
Mumpung libur apdetnya cepet wkwkwk.
Vomment yaww❤
Makasih untuk 600+ reads dan 200+ vote❤

B L I N D •Ding Cheng Xin✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang