Peserta berjubel memadati lorong menuju kelas pelatihan baca Al-quran untuk lansia. Jenar yang ikut menyambut peserta, memasang senyum ramah. Ia senang. Rupanya di usia peseta yang tak lagi lincah dan menggemaskan, masih punya semangat juang untuk belajar. Beruntungnya orang-orang yang dimudahkan dan digerakkan hatinya datang ke majlis ini, ketimbang bergerombol membentuk KMA (Konfrensi Meja Asal-asalan) yang membahas aib tetangga, gosip artis, atau tingkat pendapatan.
"Um, rame banget ya."
Jenar melirik pada Umah yang duduk sambil memperhatikan satu-persatu peserta mengisi lembar daftar ulang.
"Iya. Pesertanya nambah. Panitia kemarin kasih slot lagi. Tapi jamnya dibagi dua. Alhamdulillah panitia dapet tutor tambahan dari pengurus yang mahasiswi."
"Oh. Makanya."
Begitu peserta sudah masuk ke kelas masing-masing, panitia membagikan iqra' dan alat tulis pada pengajar untuk dibagikan ke kelas masing-masing. Jenar yang baru selesai menerima panggilan dari ibu tirinya, segera bergabung. Ia tadi masih bernego. Tetap saja ya, pekerjaan rumah sudah ia selesaikan tapi ada saja komplen yang dilayangkan ibu tiri dan kakak-kakaknya. Nego panjang, sampai Jenar mundur sejenak dari tugas menyambut peserta.
"Buruan masuk. Kelasnya nomor dua dari depan ya, sesuai absen." Jenar mengangguk. Ia berjalan menuju kelas yang dimaksud. Dalam kegiatan ini, ruangan yang digunakan adalah kelas-kelas untuk sekokah diniyah malam hari. Ada banyak ruangan, dengan tingkat kelas yang berbeda. Berada di dalam pondok, yang tak jauh dari deretan kamar santri.
Kaki berbalut kaus kaki warna cokelatnya beradu dengan tehel putih. Melihat pintu kelas dengan tulisan angka dua, Jenar berhenti. Membaca basmallah dalam hati, ia melebarkan pintu yang sudah terbuka.
"Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh," sapa Jenar yang lantas disambut riuh jawaban salam dari sepuluh lansia. Mata Jenar mengedar. Bisa ia lihat wajah cerah peserta yang hendak menerima asupan ilmu. Matanya lantas berhenti pada satu wajah yang lamat-lamat ia kenali. Mengernyit sejenak, ia akhirnya ingat. Wanita berkerudung ungu, pemilik kambing manis yang pernah manja di keteknya.
***
"Nduk, Ya Allah ... kita ketemu di sini." Mak Sari girang bukan main. Setelah pembelajaran yang selesai beberapa menit lalu, Mak Sari menghampiri Jenar yang membereskan lembaran hasil belajar barusan.
"Emaknya Anjelo, kan?" Jenar mencium tangan Mak Sari.
"Halah, bukan. Anjelo memang tak anggep anak sendiri, tapi nggak begitu juga."
"Hehehe. Apa kabar Anjelo? Masih suka kabur, Mak?"
"Enggak. Sudah dicariikan betina sama Yuda. Kemarin Anjelo ngambek minta kawin."
Keduanya jalan beriringan keluar kelas menuju tempat masuk. Di sana nanti, peserta akan dibagi makanan ringan sebelum pulang.
"Nduk Jenar mondok di sini to?"
"Enggak, Mak. Teman saya yang mondok sini."
"Oh. Habis ini ada acara apa lagi, Nduk?"
Jenar yang memeluk tas selempang beserta lembaran tugas langsung mengernyit. Ia hanya dapat satu kelas. Sebenarnya ada kelas lagi, tapi ia tak mendapat jadwal tersebut. "Masih ada kelas lagi, Mak. Tapi kalau saya ya ... mau pulang."
"Eh, jangan pulang dulu. Ayo makan." Belum sempat Jenar menolak karena ia harus pulang, tangannya diapit Mak Sari. Wanita itu mengajak Jenar menuju dapur. Jenar yang merasa daerah tersebut bukan ranahnya, berusaha menolak. Jenar pikir, mungkin Mak Sari lapar dan minta makan di dapur ndalem. Tapi kan, ia peserta. Cuma dapat kue, bukan makan nasi. Gawat kalau mereka ditegur. Bisa malu, dan tak enak hati karena tak sopan.
"Mak, kok ke dapur? Mak dapetnya kue di depan. Ambil di tempat panitia tadi loh, bukan di sini, Mak."
Mak Sari tak mengindahkan. Ia hanya tersenyum dan tetap menggandeng Jenar masuk ke area dapur. Didapati wanita seusia Mak Sari dan gadis-gadis tengah sibuk memasak, mencuci, menumpuk kotak makann dan sebagian menyiapkan air minum dalam tong merah.
"Wes, tenang. Duduk sini, tak ambilkan nasi. Aku dulu pernah masak di sini. Jadi, nggak bakal ditegur." Mak Sari seolah tahu keresahan Jenar. Sembari menunggu, Jenar menuruti agar duduk tenang di teras dekat pintu dapur.
Tak berapa lama Mak Sari datang membawa dua pirinh nasi putih dengan menu sayur tumis buncir, wortel dan tempe serta lauk telur dadar yang dipotong empat bagian. Mak Sari ikut duduk di sebelah Jenar. "Ayo dimakan."
Jenar mengucap terima kasih dan segera menyantap nasi dalam piring. Sesungguhnya ia lapar. Makan di rumah hanya sedikit karena memang itu sisa yang ada. Seolah-olah sengaja tak diberikan sisa lebih untuk Jenar yang memasak sepanjang hari.
"Mak."
Baik Jenar maupun Mak Sari langsung menoleh begitu ada suara yang memanggil. Terlebih Mak Sari yang pundaknya ditepuk. "Eh? Kaget Emak nih."
"Kenapa makan di sini? Masuk, Mak."
Jenar hampir tak berkedip memandang obyek di hadapannya. Ia tak salah duga, bahwa ia mengenalinya.
"Iya. Ini boleh masuk?"
"Bolehlah. Ya udah, tak tinggal dulu, Mak. Buru-buru soalnya."
Bahkan saat obyek tersebut menghilang, Jenar masih mengikuti hingga menjauh. Mak Sari yang sudah menggandengnya masuk ke ndalem pun tak ia hiraukan. Begitu sadar karena tepukan pada lengan, Jenar kaget. Hampir saja ia memekik karena pantatnya lancang duduk di ruang makan ndalem. Jenar jelas tahu, karena ruangan di ndalem rata-rata memang seperti itu di pesantren mana pun. Ruang makan milik keluarga Kyai, tak jauh dari dapur. Terlebih saat Jenar meneliti sekeliling, didapatinya pintu kayu setengah badan yang dapat ia lihat menembus ke arah masjid di tengah bangunan pesantren. Belum lagi peralatan makan, dan menu yang terhidang di hadapannya."Mak, kok kita di sini? Nggak sopan, Mak." Jenar takut.
"Wes to, kamu nurut saja. Udah, lanjutin makan. Aku sudah dianggap bagian keluarga di sini. Anak-anak Pak Kyai juga aku yang ngerawat. Apalagi yang anak laki-laki. Sudah tak anggap anak sendiri."
________________
Peminat cerita ini sepai bangeeet ya. Jadi kurang semangat lanjutin. Ya udah, di stop aja mungkin. 😥
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Sepatu
RandomIa tidak ingin orang menganggapnya berbeda, hanya karena status keluarga. Bekerja dan tinggal di luar rumah adalah pilihan Yuda, anak seorang kyai yang tak ingin dianggap istimewa. Segala cara ia lakukan agar terhindar menjadi bagian lebih penting d...