"Pak Yuda?" "Mas Yuda?" panggil mereka bersamaan.
Semua mata dan bibir anak-anak Tinah serasa tak percaya. Semua terasa tak mungkin. Semoga hanya mimpi, namun nyatanya memang di hadapannya sambil mengulurkan tangan bersalaman dengan Tinah yang tak tahu apa-apa itu adalah laki-laki trending menjadi rebutan.
Nila yang baru ditolak tak terima. Tangisnya tiba-tiba menyeruak. Sita panik. Ia langsung berdiri hendak menghampiri atasannya agar duduk dan berbincang dari hati ke hati, semoga GM di kantornya itu amnesia sejenak soal tingkah kurang cantiknya saat mengunyah kue. Sementara Rekta, menggigit bibir resah. Kenapa Yuda harus datang di saat ia terlihat berkeringat dan makan bolu dengan belepotan?
Jenar menggenggol siku Yuda dengan sikunya, meski tak membuat laki-laki itu menoleh juga. Berbisik, "Mas Yud kenapa sih. Bercandanya kok begini?"
Akhirnya Yuda menoleh. "Episode berikut nanti aja tak jelaskan." Kemudian menoleh lagi pada Tinah dan kakak-kakak tiri Jenar yang mulai berdiri, menghampiri Yuda.
"Sudah mau Dhuhur, saya pamit dulu. Kapan-kapan saya ke sini lagi, bawa orang tua buat melamar anak bungsu Ibuk. Assalamualaikum," pamit Yuda.
Jenar yang masih menuntut penjelasan akan episode klimak barusan, mengikuti Yuda sampai di luar tempat motor terparkir.
"Mas kenapa tadi?" tuntut Jenar.
Meraih helem dengan santai. "Yang tadi mana?" goda Yuda sengaja.
"Mas bilang kuenya dipesen buat nikahan."
"Kamu sudah ada yang melamar belum?"
Jenar menggeleng ragu. Yang Baihaqi bilang mau melamarnya kemarin itu masuk hitungan belum?
"Ragu. Berarti udah ada yang datang ke rumah buat lamar kamu? Siapa tadi yang ibu kamu bilang. Baihaqi? Laki-laki yang pernah anter kamu ke rumah itu?"
Jenar mengangguk. "Iya, itu temenku. Tapi dia belum lamar aku. Bilangnya mau, tapi belum datang. Bercanda aja mungkin Be itu. Trus apa hubungannya memang? Kok jadi bahas lamaran?"
Yuda melirik ke belakang punggung saudara-saudara Jenar yang berjalan ke arah keduanya.
"Aku nggak pernah tahu bahwa kamu diperlakukan seperti itu sama mereka. Aku kenal mereka semua. Sepertinya kondisi bicara serius kita bakal berlanjut. Sebaiknya aku pamit. Nanti aku telepon," izinnya.
Punggung Jenar ditepuk Sita, kemudian menggeser tubuh si bungsu dengan lengan. Akibatnya Jenar terhuyung ke samping. Yuda hendak meraih, tapi tangannya digenggam begitu saja oleh Sita.
"Pak, ayo masuk dulu. Sudah jauh-jauh ke sini, masa kami cuma menyuguhkan teh saja. Mari masuk, Pak," ajak Sita.
"Iya, Mas. Masuk dulu, cicipi hasil usaha keluarga kami," sergah Rekta menawarkan.
Yuda melepas sopan genggaman Sita. Ia mengulas senyum tak kalah ramah. "Maaf, tapi sudah Dhuhur. Kapan-kapan saja saya mampir. Tolong, titip Jenar dengan baik."
Yuda segera naik ke motor dan mengucap salam sebelum melaju.
***
Sidang keluarga beraura panas. Jenar yang menjadi tersangka utama, didudukkan di kursi sementara lainnya berdiri mengelilingi.
"Nggak mungkin Pak Yuda bisa kepincut, kalau kamu nggak godain dua dulu. Jangan-jangan pakek pelet!" tuduh Sita.
"Cantikan aku sama kamu, tapi dia nolak aku. Apa sih kelebihan kamu? Pakek krudung, bilangnya solat, tapi pake jampi-jampi dukun pasti. Pret, tai lah!"
Rekta yang berdiri agak jauh belum menghujat apa-apa. Ia masih sibuk menjawab pertanyaan Tinah yang tak mengerti duduk persoalan. Siapa Yuda, situasi yang terjadi, serta jalinan kisah apa yang membelenggu. Tinah mendengarkan dengan saksama dari mulut Rekta sambil makan siang dengan nasi, tewel, lele dan sambel trasi.
"Dia yang nolak Nila itu?"
Rekta mengangguk dengan pertanyaan Tinah. "Iya. Dan semua dari kita naksir Mas Yuda semua. Tapi mana ada yang tahu kalau Jenar juga ikut deketin Mas Yuda. Ikut-ikut aja," tudingnya.
Tinah mengangguk-angguk. "Memang Yuda itu anak orang kaya? Ke sini pakek motor. Bajunya juga biasa. Ganteng tapi. Tapi ganteng lek ra sugeh gawe opo? Penak elek tapi duwek akeh." (Tapi cakep kalau ngfak kayak buat apa? Enak jelek tapi punya uang banyak)
"Dia punya mobil, Buk. Pas ketemu aku di toko, dia bawa mobil bagus. Lilis aja pernah dianter. Dia bosnya Sita, dan perusahaan Sita kan klien di bank Nila. Makanya kita semua udah tahu aslinya Mas Yuda itu orang kaya."
Tinah mengangguk-angguk lagi sambil mengunyah. Ia langsung bisa membayangkan bagaiman nanti jika salah satu anaknya, atau mungkin saja Yuda mau poligamu. Pas empat istri, yang mana anak-anak Tinah semua. Pasti Tinah kecipratan kaya. Anak-anaknya diboyong ke rumah besar, ia pasti akan ikut serta kan? Duh, senang tiada kira si Tinah. Terkikik bahagia sampai tersedak nasi. Rekta buru-buru mengambilkan minum.
***
"Heh, mau ke mana kamu! Nggak usah kabur!"
Sita menarik ujung kerudung Jenar kala gadis itu hendak kabur masuk kamar. Ia sudah tak tahan dengan cacian kakak-kakanya. Ia diam saja, bukqn berarti lemah. Tapi ia berusaha meredam gejolak amarah jika ia malah membalas setiap ucapan saudara tirinya tersebut. Orang emosi, kalau diladeni malah makin jadi. Sumpah serapah keluar tanpa dipikir. Bukankah lebih baik diam saja? Toh, membela pun tetap dianggap salah. Saat lelah mengomel, Jenar ambil kesempatan buat ke kamar. Sayang, hal seperti inilah yang terjadi.
"Awh!" pekiknya kala kerudung mencekik bagian leher.
Sita mengambil kesempatan menarik lepas kerudung itu. Hingga rambut Jenar terlihat kusut. Ia masih diam saja. Biar, kerudungnya juga masih banyak. Sita mau minta satu juga tak masalah.
"Buat apa pakek ginian segala buat nutupin kebusukan."
Jenar melangkah cepat meraih handel pintu, dan masuk kamar. Lekas setelah itu, ia kunci. Tubuhnya kemudian luruh di lantai sambil mendekap kedua telinga dengan telapak tangan. Tangisnya pecah. Isak yang ia pendam bertahun-tahun pun luruh. Ia tak pernah menangis sekalipun perlakuan ibu dan kakak-kakaknya tak adil. Tanpa kasih sayang, dianggap pembantu, dan selalu disisihkan. Tapi kali ini, ia tak tahan. Tidak ada batasan dalam kesabaran namun, kemampuan manusia untuk bersabar lah yang memiliki batasan.
____________________
Bentar lagi RAMADHAN. Insya Allah kalau bisa, aku bakal post cerita religi baru. Yah ... semacam kayak Jenar gini. Tapi, tokoh utamanya teman Jenar. Siapa ya kira-kira?
Buat yang ujian, semoga lancar. Buat yang kerja, jangan main wp aja. Yang emak2, masak buk.... jgn dianggurin suaminya. 😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Sepatu
RandomIa tidak ingin orang menganggapnya berbeda, hanya karena status keluarga. Bekerja dan tinggal di luar rumah adalah pilihan Yuda, anak seorang kyai yang tak ingin dianggap istimewa. Segala cara ia lakukan agar terhindar menjadi bagian lebih penting d...