Tiga rumah dari kediaman Jenar, Yuda berhenti. Masih duduk di atas jok motor, ia amati gerak-gerik Jenar di Subuh hari yang mulai hilang keremangan dengan saksama.
Gadis yang semalam menginap di rumahnya itu masih sibuk menarik slot pintu gerbang, mendorong hingga terbuka kemudian menuntun motor untuk masuk ke halaman. Setelahnya, Jenar hilang ditelan gerbang tinggi dan dipupus jarak pandang Yuda yang tak dekat.
"Ampun, basa-basi dikit kek. Yakin, dia tahu aku ikutin."
Menunggu tak lagi ada tanda-tanda Jenar berkeliaran di teras, minimal, Yuda pun menyalakan motor dan melanjutkan perjalanan ke pasar semu. Alasan basi orang kepepet minta waktu ngobrol lebih lama. Sayang, tak mempan juga.
***
"Buruan masak, kita laper semua. Cucian numpuk juga tuh!"
Jenar tersenyum tanpa ragu. Dapur menjadi tempat tujuan pertama. Ia keluarkan bekal dari Mak Sari yang masih hangat kemudian menyajikannya di meja makan. "Udah siap, silakan makan. Jangan lupa berdoa dulu, biar barokah, Mbak-mbakku, ibuku."
Setelahnya Jenar ngeloyor pergi ke kamar. Berganti baju dan segera melesat ke tempat cucian. Melihat tumpukan baju segunung, Jenar hanya bisa istigfar. Padahal sore kemarin ia sudah mencuci, menyetrika, sampai mengepel rumah sebelum berangkat ke rumah Mak Sari. Sudah pasti ulah kakak-kakaknya yang tak mau rugi ditinggal Jenar semalam saja. Ya sudahlah, tinggal masuk mesin cuci saja kan? Semoga suatu saat kakak-kakaknya mau belajar mencuci sendiri. Entah kapan. Lebaran meong mungkin.
Sementara itu di meja makan, anak-anak Tinah lahap menyantap sarapan yang dibawa Jenar. Bahkan nasi, sayur dan lauk tak disisakan sama sekali untuk Jenar yang belum makan sesuap pun. Tadi ia menolak sarapan di rumah Mak Sari, karena tak enak sama anaknya yang punya mata tapi nggak dijaga. Sudah tahu punya istri, masih lihat Jenar tanpa malu.
"Enak ya, tambah boleh nih."
"Habisin aja. Jenar paling udah makan di rumah mbah-mbah kemarin."
***
"Ok siap!"
Jenar mengiakan ajakan Umah untuk belanja kebutuhan anak kamarnya. Umah, selain seorang mahasiswa, pengurus, juga seorang pembina kamar di pondok pesantren. Ia membina satu kamar berisi dua puluh santri dengan tingkatan sekolah setara SMP.
"Aku siap-siap di kamar. Kamu nyusul aja nanti." Jenar mengangguk dan Umah pergi ke kamarnya.
Selagi membereskan buku pelajaran di kamar santri lansia, Jenar berjalan ke arah kamar Umah yang berseberangan dengan kamar santri lansia yang ia ajari mengaji. Melewati lorong kamar yang panjang, Jenar naik tangga. Melihat ada tulisan gabus Arab yang berbunyi 'Tsani' sebagai kamar Umah, Jenar mempercepat langkah.
"Assalamualaikum," sapanya.
Umah menjawab sembari memakai bedak. Kamar tampak sepi, karena semua santri tengah sekolah formal.
"Um, aku mau ke kamar mandi nih. Aku taruh sini ya tasku," pamit Jenar.
"Iya. Kamu ambil saja gayung di depan."
Jenar yang sudah lama mengenal Umah dan terbiasa main ke pondok, sudah hafal bagaimana hidup di dalamnya. Mengambil gayung kosong yang ditumpuk di depan kamar samping sabun-sabun santri. Berjalan santi ia menuruni tangga, karena semua kamar mandi berada di lantai bawah. Selesai dari kamar mandi, Jenar malah mampir melihat-lihat mading berisi koran Radar Kediri hari ini.
Begitu melewati teras ruang tamu Bu Nyai selesai membaca mading berita, Jenar dipanggil. Melihat sekitar hanya ada dirinya, Jenar percaya diri saja bahwa ia yang dipanggil. Entah ada perlu apa, Jenar pun setengah berlari menghadap dengan tubuh sedikit membungkuk.
"Mbak, sini sebentar."
"Nggeh." (Ya)
Bu Nyai yang hanya memakai daster lengan panjang dan mukena yang dililitkan di leher, meminta Jenar masuk. "Sampean yang ngajar mbah-mbah 'kan?"
"Nggeh, kulo." (Ya, saya.)
"Sampean kasih ke Mbah Rom, ada titipan dari keluarga. Tadi manggil Mbak pengurus, kantor sepi. Tunggu situ dulu."
Jenar duduk di kursi ruang tamu, sementara Bu Nyai masuk mengambil barang titipan dari anak Mbah Rom. Tadi hendak diserahkan langsung, namun Mbah Rom masih mengaji. Jadilah titip ke Bu Nyai.
Sambil menunggu, mata Jenar menjelejah isi ruang tamu. Dua set kursi di sisi kanan dan kiri, karena tamu memang seringkali datang lebih banyak. Terlebih saat wali santri ingin silaturahmi ke pengasuh pondok. Berjejer makanan kering dalam toples sebagai hidangan, vas bunga dan asbak rokok. Melihat ke dinding, ada foto keluarga ukuran 24 R terpajang. Dalam foto tersebut ada Pak Kyai, Bu Nyai, seorang perempuan dengan senyum menawan, dan seorang anak laki-laki seusia SMA. Tak memperhatikan saksama, Jenar beralih pada foto lain. Foto Pak Kyai berdua dengan istrinya yang berukuran lebih kecil.
"Ini loh, Mbak."
Bu Nyai datang dan menyerahkan bungkusan. Setelah menyalami beliau, Jenar pamit. Namun sebelum itu, Bu Nyai bertanya.
"Mbak ... siapa, kok lupa."
"Asmo kulo Kirana. Candra Kirana."
***
Setelah belanja di Pasar Pahing, Umah dan Jenar mampir ngadem ke swalayan Golden. Sembari membayar salad buah yang murah tapi enak dan segelas es teh manis, keduanya mencari tenpat duduk untuk menikmati.
"Serius kamu jawab nama Kirana ke Bu Nyai?"
Jenar mengangguk. "Iya. Kan emang itu namaku, Um."
"Padahal aku dulu pas sowan ngadep Bu Nyai ngenalin kamu pakek nama Jenar."
Setelah menelan potongan buah apel, Jenar baru bersuara. "Nggak apa-apa. Toh, Jenar juga namaku. Tadi juga aku jelasin kenapa ada dua nama pas Mbak Uki dateng pas aku mau pulang."
Tadi saat Jenar hendak melewati pintu, Mbak Uki, salah seorang pengurus yang mau mengambil barang Mbah Rom datang.
"Sudah tak titipkan Mbak Kirana ini loh, Mbak Uk." Bu Nyai menunjuk Jenar.
"Oh, Mbak Jenar to? Nggeh pun lek ngonten." Mbak Uki mau pamit juga.
"Loh, ini namanya Jenar apa Kirana to Mbak e?" Bu Nyai jadi tampak bingung.
Jenar tersenyum. Sedikit membungkuk ia pun menjelaskan, "Ngapunten, asmo kulo sami mawon, Bu Nyai. Dateng akte diserat Kirana, lajeng Jenar niku asmo alit kulo. Kalehipun sami mawon." (Maaf, nama sama sama saja. Di ajte ditulis Kirana, tapi Jenar itu nama kecil/panggilan saya. Keduanya sama saja)
Umah mengangguk sembari menyeruput es teh manisnya. "Iya sih. Di daftar uatadzah juga nama kamu Kirana. Cuma karena kebiasan, jadi pada manggil Jenar semua." Kemudian masing-masing sibuk dengan salad buah di hadapan
"Aku masuk lagi ya, mau beli pelembab. Baru inget sekarang tadi di pasar nggak beli sekalian," pamit Umah pada Jenar. Gadis itu mengangguk. Umah segera masuk lagi dan Jenar menghabiskan es teh yang sisa setengah.
"Es krim rasa apa?"
Jenar menangkap suara yang tak asing dari sebelahnya. Menengok, didapatinya seorang perempuan bercadar yang menggandeng anak kecil usia sekolah dan ... Yuda. Laki-laki yang ia kenal sebagai anak Mak Sari tersebut tengah mengobrol dengan anak yang riang gembira saat ditawari es krim olehnya.
"Aku juga mau dong." Perempuan bercadar menimpali.
Kedua orang tersebut tampak saling meminta perhatian Yuda. Sementara Yuda sendiri asyik-asyik saja. Laki-laki itu lekas masuk meninggalkan Aini dan keponakan.
Jenar melihat keluarga bahagia Yuda sambil menghela napas. "Jangan sampek aku jadi perebut kebahagiaan rumah tangga orang," gumamnya sambil mengelus dada dan beristighfar berkali-kali. Dibukanya pesan-pesan dari nomor Yuda. Langsung ia hapus seluruh pesan tak ia balasnya. Pesan terakhir yang ia lihat di notifikasi tanpa membukanya kemarin adalah,
Sudah sampek rumah dengan selamat? Mak titip salam, kapan2 nginep lagi.
_____________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Sepatu
RandomIa tidak ingin orang menganggapnya berbeda, hanya karena status keluarga. Bekerja dan tinggal di luar rumah adalah pilihan Yuda, anak seorang kyai yang tak ingin dianggap istimewa. Segala cara ia lakukan agar terhindar menjadi bagian lebih penting d...