Sayang

13.1K 1.5K 117
                                    

Raut wajah Dahlia begitu pias menunggu sesuatu perkataan keluar dari bibir Elina. Sebenarnya, ia tidak berharap akan dibimbing menulis lagi oleh perempuan di hadapannya yang jarang tersenyum itu. Entahlah aura mencekam selalu ada. Bagian paling ia takuti, ketika Elina sudah mengatakan ini plot hole. Maka, siap-siap ia harus merevisi karyanya itu mati-matian.

"Di sini tidak dijelaskan tokoh laki-lakinya kenapa bisa mengenal si perempuan. Padahal, fakultas hukum dan fakultas ekonomi universitas ini ada di dua tempat yang berbeda, tidak satu lokasi. Kenapa mereka bisa bertemu setiap hari?" Elina menatap Dahlia serius, sementara yang ditatap hanya menelan air liurnya saja. Ia bingung ingin menjawab apa, pasalnya saat menulis Dahlia tidak mencari informasi sama sekali tentang dunia perkuliahan.

"Maaf, Mbak. Saya cuma lulusan SMK,  jadi kurang tahu dunia perkuliahan seperti apa," celetuknya dengan melirik Elina sekilas.

Elina mengaduk-aduk kopinya yang masih mengepul, ia menghirup aromanya dalam-dalam, lalu meneguknya perlahan-lahan. Menikmati rasa moka yang menguar pada permukaan lidahnya. Benar-benar nikmat, mampu menghilangkan sedikit penat--memikirkan berlembar-lembar tulisan yang harus ia koreksi.

"I see ...," Elina mengangkat sedikit sudut bibirnya hingga membuat bibirnya melengkung. "Kamu tahu, kenapa saya berhenti menulis?"

Dahlia menggeleng, "Kenapa?" tanyanya ragu.

"Saya enggak kuat. Dalam dunia menulis, hanya mereka yang punya mental baja yang berhasil. Hinaan atau cacian pasti pernah didapatkan oleh seorang penulis, walau itu penulis best seller sekalipun." Elina menyandarkan punggungnya di sofa, menyelipkan anak rambutnya yang menjuntai ke daun telinganya, lalu menatap air yang menempel pada jendela yang terguyur air hujan. "Saya yakin, kamu juga pernah merasa lelah karena itu. Terkadang, kamu juga takut dalam menulis."

Dahlia mengangguk dengan menatap ke arah Elina canggung. Sementara yang ditatap terus memandang jendela luar. Ia tampak memikirkan sesuatu yang begitu serius, terlihat dari wajahnya yang terlihat menegas dan cenderung kaku.

"Bahkan, hari ini kamu takut, kan bertemu saya karena masalah tulisanmu." Kini, Elina Menengok ke arah Dahlia dengan raut wajah yang lebih bersahabat, lalu menepuk bahu perempuan itu. "Tenang, saya enggak gigit kok. Kamu bisa tanya ke saya waktu nulis tentang dunia perkuliahan, saya ini penulis pendamping kamu, sekaligus nanti yang menjadi editor bukumu. Seharusnya kamu enggak sungkan sama saya."

"Iya, Mbak. Maaf."

"Jangan bilang minta maaf doang, besok diperbaiki. Ini masih banyak yang salah, udah saya coret-coret di hard file, maupun soft file-nya." Elina menunjuk ke arah narasi yang ia lingkari dengan warna ungu. "Ini juga diingat kalau mbayar UKT itu sebelum KRS, bukan mau ujian. Kenapa dijelaskan si cewek enggak bisa ujian akhir semester karena belum bayar UKT, jadi dia harus bayar UKT. Masa cuti kuliah, juga langsung tiba-tiba di pertengahan kuliah bisa masuk lagi. Apa sistemnya udah berubah?" Elina berdecak.

Dahlia tak menjawab karena ia tak tahu sama sekali. Ia hanya tersenyum kikuk seraya mencermati semua kesalahan yang ia tulis. Dirinya berjanji akan lebih baik lagi dalam menulis.

"Terus semangat, ya. Kamu punya aura jadi penulis, enggak kayak saya. Saya yakin buku kamu akan laris lagi."

"Terima kasih, Mbak. Karya Mbak juga bagus. Pasti, pembaca cerita Mbak pada menunggu karya baru Mbak. Banyak yang bilang karya Mbak bagus dan menghibur."

Elina terkekeh, "Standar bagus dalam menulis itu tidak pasti, apa lagi kamu mengatakan katanya. Bisa jadi perkataan itu hanya rasa simpati."

"Mbak selalu merendah."

"Saya enggak pernah merendah, saya hanya mengucapkan opini saya, yang bisa jadi itu fakta. Banyak orang mengatakan karya saya bagus, hanya sebagai penghiburan untuk saya. Berapa banyak orang yang menggunjing karya saya di belakang. Termasuk author lain yang dekat dengan saya. Di depan menyemangati saya, di belakang menggolok-olok. This is fact. Saya selama ini diam, bukan berarti buta atau tuli."

"Saya tahu, pasti Mbak punya banyak alasan untuk berhenti menulis. Namun di dalam hati Mbak, saya yakin masih ada harapan untuk bisa menulis kembali." Dahlia memberanikan diri untuk berbicara, meski jantungnya berdebar tak keruan. "Semangat, Mbak. Saya permisi, mohon maaf kalau ada tutur kata yang menyinggung."

Elina hanya tersenyum, seraya menutup rapat-rapat buku catatannya yang tergeletak di meja. Kemudian, memasukannya ke tas. Lalu, mengambil ponselnya dengan raut wajah serius.

"Hai," panggil Faris yang sudah duduk di sebelah Elina.

Elina tak menghentikan aktivitasnya bermain ponsel, meski tahu Faris ada di sampingnya. Walau, sebenarnya ia penasaran kenapa pria menyebalkan itu ada di situ. Dirinya terus memasang raut wajah tak acuh.

"Buluk, kamu sudah lama ya, di sini?"

"Maaf, Mas di sini enggak ada yang namanya Buluk. Mas ngomong sama siapa?" Elina menjawab, tanpa menoleh ke arah Faris.

"Saya lagi ngajak ngomong Nona Novelis yang menjadi pengagum rahasia saya."

"Ohh ..., ya."

"Kalau diajak ngomong itu natap ke arah orang yang diajak ngomong. Kayak nggak ngerti sopan-santun aja. "
"Tahu apa tentang sopan-santun. Anda sendiri main mengganti nama saya yang indah menjadi Buluk."

"Terus mau dipanggil apa? Sayang?" guraunya dengan tawa renyah.

"Boleh," balas Elina dengan nada ketus. "Satu panggilan Sayang, seratus ribu tarifnya."

Faris mengeluarkan dompetnya, lalu ia ambil semua uang di dalm dompetnya. Kemudian, mengenggam tangan Elina dan menaruh lembaran ratusan ribu di telapak tangan Elina yang membuat Elina membelalakkan matanya. Ia tidak mengerti dengan jalan pikiran Faris.

"Aku cuma punya uang segitu, Key," ujar Faris lebih santai, mengubah kata saya menjadi aku agar tak begitu kaku.

"Terus ngapain dikasih ke saya?"

"Kan, kata kamu setiap sekali panggil sayang berarti bayar seratus ribu. Aku mau panggil kamu sayang seratus kali, tapi cuma punya uang cash dua juta. Jadi, aku panggil kamu sayang sebanyak dua puluh kali."

Elina menatap Faris dengan raut wajah tercengang. Gila, pikirnya. "Aish ..., dasar gila!"

"Tadi, katanya mau dipanggil sayang. Gimana sih Key Sayang," Faris mencubit pipi Elina gemas.

"Hai, sakit tahu! Jangan main cubit, pegang aja harus bayar denda 5 juta. Apalagi, cubit!" geram Elina dengan tatapan sengit.

Faris mengambil kartu ATM, lalu diberikan kepada Elina. "Hitung sendiri dendanya berapa, kamu bisa ambil uang dari ATM-ku. Sandinya tanggal kamu kasih surat ke aku."

Elina menepuk dahinya dengan tangan kirinya. "Kais, kamu sudah gila, ya?"

"Bukan aku yang gila tapi kamu. Masa apa-apa suruh bayar."

Elina menggembalikan uang dan ATM milik Faris. "Nih, ambil! Enggak butuh."

"Sayang, jangan ngambek! Nanti tambah buluk, loh!" Faris langsung tertawa, ia suka sekali menggoda Elina. Hiburan menyenangkan baginya.

Tbc...

Cerita ini sudah tersedia versi cetak dan pdf. Cetak hanya Rp 45.000. Pdfnya cuma Rp 30.000. Bisa hubungi wa 087825497438

He Called Me, "Buluk"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang