Novel

5.7K 745 58
                                    

"Aku serius."

"Aku juga serius bilang so sweet, tapi sayangnya--"

"Sayangnya apa?"

"Lupain aja. Hemm ... aku kasih saran, coba omongin baik-baik maunya dia apa. Kalau dia enggak mau nikah sama Kais, ya udah jangan dipaksa. Cari yang lain, pasti nanti bisa dapat yang lebih baik, kok."

"Key, kenapa kamu enggak pengin nikah? Selain alasan kamu yang katanya cowok selalu mendominasi. Kayaknya kamu punya alasan lebih dari sekadar itu. Can you tell more?"

Pertanyaan Faris yang tiba-tiba mengalihkan pembicaraan itu membuat Elina mengerjap.

"Kenapa malah jadi nanyain ke aku yang enggak pengin nikah. Kalau aku cerita lebih Kais juga enggak bakal ngerti."

"Cerita aja, aku enggak bakal ngehakimi kamu apa pun itu alasannya."

Elina tersenyum masam. Tak banyak orang yang tahu kalau ia tidak ingin menikah. Dulu, dirinya pernah ditanyai sosok pria seperti apa yang dirinya inginkan menjadi pendampingnya dan perempuan ini menjawab "tidak tahu". Sontak teman-temannya menertawakannya. Lalu, ia menjelaskan kalau dirinya tak tertarik pada pernikahan. Mereka terdiam, tapi tak ada yang menghujatnya. Hanya memandangi dirinya dengan tatapan tak percaya.

Namun, tidak semua orang diam ketika ia menyatakan kalau dirinya tidak ingin menikah. Seringkali dirinya dicibir. Padahal menikah atau tidak bukan mereka yang menjalani, tetapi Elina sendiri. Maka sejak itu ia tidak lagi mengutarakan kalau dirinya tidak ingin menikah kepada sembarang orang, kecuali dengan orang yang bisa ia percayai.

Mungkin orang-orang akan mengerti kalau Elina mau menjelaskan secara gamblang kenapa ia tidak ingin menikah. Namun, dirinya enggan mengutarakan apa alasannya. Ia tidak mau dikasihani dan bagi dirinya tidak semua orang harus tahu lukanya.

"Kalau aku enggak suka cowok, gimana? I am lesby. Kais tetep enggak bakal nghujat aku?" Elina menatap lurus manik mata kecokelatan di hadapannya.

"Bukan itu kan alasannya?"

"Kalau iya gimana?"

"Aku enggak akan nghujat kamu, tapi aku akan bantu kamu ke jalan yang benar."

"Kamu pikir mudah? Itu enggak gampang."

"Aku tahu itu sulit. Aku janji akan bantu kamu," Faris berkata dengan lembut seraya memegang kedua bahu Elina, "aku nggak bakal ninggalin kamu."

Elina terkekeh, "Dari dulu mulutnya manis banget, deh. Oke, makasih tapi aku enggak lesby, kok. Maaf, aku enggak bisa kasih tahu alesannya."

"Nggak pa-pa, aku enggak akan maksa lagi. Kalau kamu butuh teman curhat, hubungi aku aja. Aku punya banyak waktu buat kamu."

Elina hanya menyatukan ibu jari dan telunjuknya sebagai tanda persetujuan.

"Key, aku baca bio di sosmed-mu kalau kamu itu penulis pendamping juga, ya?"

Elina hanya berdeham.

"Aku sebenarnya mau nulis novel tapi bingung nulisnya dari mana?"

Elina mengerjapkan matanya. Ia menatap Faris curiga. Aneh saja tiba-tiba mau menulis novel, padahal lelaki ini hobi menggambar dan fotografi.

"Kang TPTP nggapain bikin novel?"

"Dasar ... Buluk," lirih Faris yang masih didengar oleh Elina.

"Ditanya, malah mulai lagi manggil Buluk. Aku tahu, kalau aku jelek tapi bisa enggak sih enggak manggil Buluk lagi."

"Kamu juga masih suka nyebut aku tukang tebar pesona. Padahal aku enggak pernah gitu."

Dalam hati Elina mendecih. Meski Faris selalu mengelak tuduhannya, tapi ia yakin kalau lelaki itu memang suka tebar pesona. Semua perempuan dibaik-baiki, kalau bicara semanis madu. Nyatanya banyak perempuan yang berakhir menangis karena hanya diberi harapan palsu.

He Called Me, "Buluk"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang