11

13 2 0
                                    

10 tahun berlalu, Della sudah menikah meskipun belum di karuniai anak. Sementara itu, Ibu semakin menua, usianya sudah lebih dari setengah abad. Sebagian rambutnya sudah dipenuhi oleh uban dan badannya sering merasakan berbagai macam penyakit. Permasalahan orang lanjut usia.

Kami bekerja sama untuk menjaga kesehatan ibu. Della dan suaminya selalu mengecek kesehatan ibu secara rutin dengan memeriksakannya ke rumah split. Sementara aku selalu memastikan ibu meminum susu untuk kepadatan tulangnya juga selalu memaksa ibu untuk mengikuti senam lansia, agar badannya tidak kaku.

“Kamu gak akan nikah, Ji Soon?”

“Ibu minum susunya dulu, baru aku mikirin nikah” ucapku lalu tertawa.

Ibu hanya menggelengkan kepala lalu meminum susu yang kubuat hingga habis “Kalau misalkan alasan kamu gak nikah karena ‘identitas’ yang selalu kamu bilang itu, mending kamu lupain aja. Ibu punya uang, ibu bisa bayar orang buat bikin kamu jadi anak ibu secara legal”

“Ibu mau sombong kalau punya uang banyak hah?” ucapku seraya mengambil gelas kosong dari tangannya “Aku bakalan nikah kalau emang aku mau nikah dan waktunya bukan sekarang. Aku masih mau deket-deket sama ibu” jelasku lalu berlalu menuju wastafel untuk mencuci gelas namun tiba-tiba ponselku berdering. Ternyata Della yang meminta diantarkan sebuah buku yang ketinggalan, padahal ia tengah mengantar anak didiknya mengikuti lomba story telling.

“Bu, aku pergi dulu yah” izinku pada ibu “Della ketinggalan buku nih katanya”

“Oh yaudah, pake jaketnya, hati-hati dijalannya ya”

Setelah mengambil buku yang Della maksud, aku segera berjalan menuju halte bus, menunggu bus jurusan Jatinangor-Dipatiukur karena lomba yang diikuti anak didik Della berlokasi di Universitas Padjajaran yang ada di Dipatiukur. Sekitar 5 menit kemudian bus yang kutunggu melewat, aku segera menaikinya dan duduk di kursi yang kosong. Aku akan menaiki bus ini hingga pemberhentian akhir dan tentu saja itu masih lama meskipun kami melewati tol.

Untuk menghilangkan kebosanan, aku mendengarkan lagu di playlist mp3ku seraya membuka-buka buku Della yang ketinggalan. Terselip nomor peserta di sampulnya, astaga bagaimana ia lupa akan hal sepenting seperti ini?. Didalam buku itu terdapat banyak cerita-cerita pendek yang disertai ilustrasi gambar. Aku membacanya, sekalian mengingat masa-masa kecilku dulu. Hensel and Gretel hahaa.. eommaku pernah menceritakannya dulu.

Hingga tak terasa aku mendengar suara kondektur yang memberi pengumuman kalau bus sudah mencapai pemberhentian akhir. Aku segera beranjak menuju pintu keluar. Namun ketika aku sudah keluar bus dan menginjakkan kakiku di trotoar, lagi, earphoneku berdengung keras, aku segera melepaskannya dengan kasar hingga buku yang kupegang jatuh lalu mengusap-ngusap telingaku. Astaga, kejadian ini persis seperti yang kualami ketika aku….

Seketika aku tersadar, astaga jangan-jangan? Aku segera mendongakkan kepala, melihat suasana sekitar, ini halte kampusku!. Oh Tuhan, tidak, jangan sekarang, Della membutuhkan buku ini. Aku memegang keningku pening, segera memungut buku Della dan dengan resah menunggu bus datang lagi. Aku harus kembali ke tahun 2027, setidaknya aku ingin memberikan buku ini dan berpamitan pada ibu. Namun sepertinya aku melakukan hal yang sia-sia. Aku sudah kembali lagi ke tahunku.

*

Tahun berapa sekarang? Tak ada yang berbeda dari kota Seoul, semuanya nampak sama. Aku segera menuju rumah, pulang, hal yang selalu aku nantikan selama 10 tahun terakhir namun mengapa malah terasa berat? Langkahku terasa gontai dan lemas. Rumahku juga masih sama, tak ada perubahan sama sekali. Bahkan anjingku juga masih hidup, ia beumur panjang rupanya.

Kubuka pintu, tak dikunci. Semua dekorasi rumah juga nampak sama, apa Seoul sudah tak mempunyai semangat hidup? Hingga tak ada secuilpun perubahan padahal aku sudah berkelana selama 10 tahun.

Oppa?”

Aku menoleh, ternyata adikku Park Ji Na. Aku tak menyahutnya, hanya menatapnya tanpa ekspresi, sedetik kemudian ia mulai berteriak memanggil eomma.

Eomma, eomma! Oppa sudah pulang. Cepat kesini eomma!”

Aku dapat mendengar langkah kaki tergesa menuruni tangga, detik selanjutnya eomma langsung menghambur memelukku, menangis. Aku balas memeluknya, menjatuhkan buku yang kupegang dan tanpa bisa kutahan, air mataku juga ikut keluar, dengan deras, seiring dengan hatiku yang terasa sakit sekali.

Heran karena aku yang terlihat lebih merana dan lebih lama menangis, eomma akhirnya bertanya padaku. Aku menceritakan semuanya tanpa satupun yang terlewat meskipun suaraku tak terlalu jelas karena setiap kali bercerita aku selalu teringat ibu dan itu membuat air mataku terus keluar

Eotteohke eomma? Aku harus mengantar buku ini pada Della, kasihan anak didiknya mereka pasti menungguku. Ibu juga tinggal dirumah sendirian, ia sudah renta, bagaimana jika ia kesusahan ketika ingin ke toilet? Della dan suaminya pasti pulang malam, tak ada yang menjaganya” ucapku lalu kembali menangis.

Semalaman itu aku menangis.

10 YEARSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang