"Iya."
Caca langsung membulatkan mata mendengar jawaban Sunu. Caca pikir sepertinya kepala Sunu habis membentur sesuatu? Atau memang sifatnya saja yang begitu? Ah, tidak tahu deh. Habisnya kan Caca cuma bercanda dengan bertanya Sunu gelandangan atau bukan, tapi ternyata malah dijawab serius.
"Jangan bercanda deh? Pulang aja sana, entar ortu lo nyariin," kata Caca mengusir Sunu.
Namun kenyataannya Sunu memang tidak sedang bercanda. Sekarang Sunu betulan sedang menjadi gelandangan yang tak punya tempat tinggal. Ada sih, tapi Sunu sendiri ragu apakah dirinya masih bisa tinggal di sana lebih lama lagi.
"Tolong gue, gue serius."
Ekspresi yang Sunu tunjukkan kurang lebih sama dengan kemarin saat minta untuk menginap semalam di apartemen Caca. Dan lagi-lagi akibat melihat sepasang mata yang begitu indah itu memohon, Caca jadi mendadak lemah. Hih, Sunu sialan! Orang seperti itu mengapa harus sadar jurus andalannya sendiri sih? Bikin repot saja.
"Chaera ... Caca ... Isabel???"
Arrgghh, Caca ingin teriak yang kencang sekarang juga! Bagaimana bisa ada remaja laki-lakiㅡyang kebetulan berbadan cukup besarㅡahli memelas dan membuat Caca kena heart attack? Sungguh, Sunu benar-benar membuat dirinya seolah anak anjing malang yang siap diadopsi Caca sekarang juga.
"C-cukup ... udah cukup, please ..." balas Caca seraya menutup wajah.
Namun tentu saja Sunu tidak juga berhenti menghentikan jurus memelasnya usai Caca berkata begitu. Sadar akan Caca yang menutup wajah namun diam-diam mengintip dari sela jari, Sunu justru menggunakan kesempatan itu untuk lebih mengeluarkan ekspresi minta dikasihani.
Yah, Sunu kan belum dapat jawaban pasti boleh tidaknya dari Caca, jadi anak itu akan terus bersikap begini sampai Caca mengizinkannya tinggal bersama di apartemen sementara waktu.
"Lo ga serius kan? Inget waktu lo abis nyerempet gue itu? Gimana kalo abis ini gueㅡ"
Sunu mulai bicara dan Caca segera bergerak membekap mulut anak itu dengan cepat. Kini, dari jarak yang begitu dekat Sunu bisa melihat Caca sedang membulatkan mata menatapnya. Di sana, Sunu tahu bahwa arti dari tatapan itu ada suatu kekhawatiran berlebih. Benar, Caca tidak mau hal buruk seperti di hari pertama pertemuan mereka terjadi lagi pada Sunu.
"Shut up," perintah Caca, dengan mata yang masih melotot marah.
Kemudian Sunu pun mengangguk hingga Caca akhirnya melepaskan bekapan tangannya di mulut anak itu. Sekarang, dengan salah satu tangan berada pada dahi Caca tampak berpikir. Caca sedang berpikir, haruskah dirinya mengizinkan anak laki-laki tinggal satu atap dengannya? Memang sih kemarin tidak terjadi apa-apa, tapi kan tidak ada yang tahu di masa depan akan bagaimana.
"Okay, kalo lo masih ragu, kita buat deal aja gimana?" tawar Sunu tiba-tiba, membuat Caca yang semula kebingungan sendiri kini beralih menatap lagi pada si teman sebangku.
"Deal?"
"Iya. Lo pasti takut kan gue bakalan macem-macem sama lo? Kalo kita bikin semacem perjanjian tertulis dan bikin batasan diri masing-masing, kita bisa saling merasa aman dan balik bersikap kayak biasanya lagi," jelas Sunu, dan saat ini pula Caca terlihat sedikit tertarik meski belum mau mengeluarkan jawaban sama sekali.
"But why you have to do this with me?" tanya Caca sekarang, membuat Sunu lantas tersenyum sangat manis sebelum menjawab.
"Karena cuma lo satu-satunya temen yang bisa gue percaya."
Angin sore yang berembus hari itu mengiringi suara bisikan Sunu barusan. Keduanya telah mengalun lembut bersamaan seolah masuk dalam diri Caca lewat indera pendengaran dan kulit. Ini dia akhirnya, Caca sudah kalah telak sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apartment | ✓
Teen FictionHidup Caca itu sebelumnya sangat monoton. Tapi kemudian semua berubah setelah tidak sengaja hampir menabrak seseorang saat di jalan pulang. ▪contains underage smoking, driving, and violence. ©clynasp, 2018.