Necklace

58 8 9
                                    

Play the video🔊

Bagas berdecak kesal. Sudah berjam jam ia berada di kamar Jullian tanpa tahu ingin apa. Sejujurnya ia datang kerumah Jullian untuk menanyakan bagaimana kabar gadis kemarin. Namun kalimat itu tidak bisa keluar dari mulutnya. Ditambah, Jullian sibuk mengurus gitarnya. Alhasil Bagas hanya dapat berbaring di kasur, memainkan ponselnya, membuka dan menutup jendela, serta hal membosankan lainnya.

Ini kemungkinan adalah rasa bersalah karena tidak perduli bahwa gadis itu sakit. Dan malah menghukumnya seharian, membentaknya pula. Yang membuatnya kesal, gadis itu tidak sama sekali meminta keringanan ataupun mengeluhkan rasa sakitnya.

Ia melirik ponsel abu abu milik Jullian yang tergeletak manis di dekat tempatnya berbaring. "Pinjem hp lo yak" izinnya. Jullian hanya mengangguk, lagi pula jika ia larang pun Bagas akan tetap mengambil ponselnya. "Anjir fix lo homo!" Seru Bagas.

Jullian hanya menoleh sebentar lalu kembali memperbaiki senar gitarnya. "Ngaku aja bro, lo suka sama gue kan?" Bagas bangkit dan duduk mendekati Jullian, "Password lo ulang tahun gue, isi galeri lo muka gue semua, bahkan walpaper lo juga muka gue".

"Bukannya lo yang hampir tiap saat ngirim foto ke whatsapp gue yang mana selalu menyimpan otomatis? Dan lo juga yang masang walpaper serta password gue" ujar Jullian yang masih sibuk mengatur senar senar itu.

Bagas berdecak lalu kembali berbaring, "walpaper memang gue, tapi password?". Jullian membeku, "oh, lo belum move on dari Carissa? Atau memang suka sama gue sih? Aing gak suka loh diduain" candanya.

"Lo sebenernya ngapain sih? Gak jelas banget, lupa tujuan hidup lo?."

Sontak Bagas berdiri, "ngusir? Yaudah gue pulang". Ia meletakan ponsel Jullian, mengambil ponselnya dan jaketnya lalu keluar. Semudah itu? Kenapa gak dari tadi gue bilang gitu? Batin Jullian yang melihat punggung Bagas hingga pintu kembali tertutup rapat. Lalu kembali ke gitarnya.

Senar demi senar Jullian petik hingga membentuk alunan musik. Suara indahnya menghiasi musiknya. Gitar coklat ini adalah gitar kesayangannya, gitar yang ia dapatkan melalui keringatnya sendiri. Kamar Jullian serba abu abu, jendela yang cukup besar untuk membiarkan cahaya matahari masuk sehingga dia tidak perlu menghidupkan saklar lampu.

"ooohh.. ooohh.. and they come unstuck.. Lady, running down to the riptide, taken away to the dark side, I wanna be your left hand man, and I love you when you're singing that song and I got a lump in my throat cause you're gonna sing the words wrong.."

Tok tok tok..

Ia menghentikan gerakan tangannya, "ya?" tanyanya setengah berteriak.

"Papa boleh masuk?" ujar seseorang dari luar.

"Masuk aja pa" teriaknya lagi lalu menurunkan gitarnya. Pintu kamarnya dibuka dan munculah seorang pria paruh baya. "Kenapa pa?" tanyanya pada Alvin, ayah tirinya. Walaupun Alvin hanya ayah tiri yang tidak memiliki hubungan darah, Jullian sangat dekat dan senang dapat memiliki sosok ayah seperti Alvin dalam kehidupannya.

"Kamu udah makan?" tanya Alvin. Jullian hanya menggeleng lalu menaikan alisnya. Belakangan ini keduanya jarang pergi bersama karena kesibukan masing masing. "Makan diluar yuk, mama kamu pergi sampai malam" ajak Alvin.

Mengingat ia tidak memiliki pr atau tugas lainnya, ia segera bangkit "Yaudah Jullian ganti celana dulu". Ayahnya mengangguk dan segera keluar dari kamar. Jullian mengambil sebuah jeans dari lemari, membuka celana pendek yang digunakannya.

"Julli-" seorang pemuda menyelonong masuk kamar tanpa mengetuk pintu. Ia segera menutup matanya menggunakan kedua tangannya "AHH KENAPA LO GAK BILANG KALO LO MAU C*LI SI" teriaknya seperti seorang banci kaleng.

FallenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang