Domu makin mendekat seperti unggun dan asap — hangat tapi senak dihirup. Aku tak bisa menerka apa yang hendak ia lakukan, unggun dan asap makin melangkaui air mukaku dan degup di dada terus melantak kehilangan frekuensi.
Prakkk...
Aku menepaki lima jari kananku di pipinya yang luas.
"Hal penting apa yang mau kau katakan?"
"Aku sudah mendapatkan hal penting itu, Rastantiku."
"Apa?"
"Terima kasih kau sudah melukis bunyi jemarimu di pipiku ini."
"Kau marah?"
"Tentu tidak Rastantiku, justru aku bersyukur. Izinkan aku meneguhkanmu dalam sanubari yang menunggu."
Ia selalu menantangku untuk yakin. Tapi aku tak berhenti bertanya.
"Pertanyaan terakhir, hal penting apa yang mau kau katakan, Domu?"
"Rastanti, izinkan aku menganggap semua tentangmu adalah hal yang sangat penting."
"Aku tak mengerti. Kau menganggap semua tentangku adalah hal yang sangat penting? Apakah mungkin nanti kau bisa tak menganggapku, dan aku tak lagi sangat penting, bahkan aku bisa seperti debu, debu yang melekat di tubuhmu."
"Kau sangat cerdas, sebutkan hal penting yang harus kulakukan agar kau tak lagi bertanya tentang sebuah keyakinan."
...
Tentang sebuah yakin, kau seperti bulan pada malam. Tapi malam tak selalu pada bulan. Kuyakin bulan pasti selalu membawa sinarnya, tapi aku tak tahu pasti apa ia selalu membersamai malam.
Kau ialah bulan danku ialah malam.
Tapi ketahuilah, jika malam tanpa bulan ia akan tetap menjadi malam. Dan aku tak tahu jika bulan tanpa malam, bagaimana.