4. Dimas

9.3K 568 104
                                    

Please.. Vote, Comment, and Follow me.🙏

Karena hanya dengan itu, saya merasa dihargai. Thanks, buat kalian yang secara suka rela memberi nilai dan tanggapan ke pada Novel saya.

Saya kehilangan banyak pembaca setelah Hiatus sangat lama. Saya sempat berpikir untuk tidak melanjut menulis karena keputus asaan.

Tapi, ini demi kalian..

Happy Birthday to Me😿
Follow Instagram @Ayy-Ayyu cari dikolom pencarian Ayy.ayyu614😇 dan nantikan info terupdate😆

Maaf telat Update😅

~~~~


Author POV.

"Shit! Siksaan apa lagi ini?!" Batin mereka bertiga, seraya meneguk ludahnya kasar. Membuat jakun mereka naik turun.

"Tuan, ad—"

Belum sempat Licya menyelesaikan ucapannya, Vanno melongos pergi dengan tatapan datarnya, disusul Lingga yang berjalan dibelakangnya.

Licya membeku, tatapannya berubah menjadi datar. Namun semua orang pasti dapat melihatnya. Sebuah kesedihan dan kekosongan dibalik tatapan datar itu.

Dimas tersenyum tipis, "Bawakan aku secangkir teh panas." ucapnya lalu melenggang pergi.

'Dia tak serapuh yang kukira. Pemain handal huh?' Batinnya sebelum menghilang dibalik dinding.

Licya mengerjapkan kedua matanya, mencoba menghalau pikiran megatif yang menyerang otak kepalanya. Ia tersenyum tipis, setelahnya beranjak pergi dari situ. Yah, segidaknya masih ada tempat untuknya.

*

Licya melangkahkan kakinya sambil membawa nampan perak berisi teh yang diminta Dimas tadi. Ia menghentikan langkahnya ketika tiba didepan kamar Dimas yang berada di lantai 2 pojok selatan.

Wajahnya terlihat datar, dan tenang, tapi jauh di lubuk hatinya yang terdalam, ia gugup. Bagaimanapun, ia pertama kalinya melayani mereka setelah insiden kurang mengenakkan dari dua bersaudara tadi. Kecuali Dimas tentunya.

Licya menarik nafasnya dalam, lalu menghembuskannya lewat mulut. Ia siap. Ia pasti bisa. Hanya tersenyum manis, lalu pergi. Ucapnya mencoba meyakinkan diri. Lagipula, Dimas sepertinya pria yang baik, bahkan tadi sempat tersenyum padanya. Yah, walau hanya tarikan dikedua sudut bibirnya saja. Tapi itu cukup meyakinkan dirinya, bahwa semua orang di mansion ini baik dan ramah. Terkecuali Vanno. Dia masuk kedalam daftar orang yang harus Licya hindari.

Tangan Licya terangkat mengetuk pintu besar tersebut, dibalas teriakan Dimas dari dalam. Ia membuka pintunya, lalu melongos masuk kedalam. Tak lupa menutup pintu dibelakangnya.

Licya tersenyum, "Ini teh nya Tuan." ucapnya setelah menaruh cangkir itu di meja yang di duduki Dimas.

Percayalah, segala pergerakan Licya, tak luput dari pandangan mata tajam Dimas. Membuat sang korban salah tingkah, meremas ujung rok mininya. Dan semua itu, lagi-lagi tak pernah lepas dari pengamatan Dimas.

"A-ada yang perlu saya bantu, T-tuan?"

Demi Tuhan, Licya merutuki nada gugupnya, dan menyumpah serapahi tatapan Dimas padanya.

"Non, merci." balas Dimas singkat, mengundang kerutan di dahi mulus Licya.

"E-mm, T-tuan, sa-saya tidak mengerti." Ucapnya, seraya menunduk malu.

Oh, ayolah.. Licya bukan wanita berpendidikan tinggi. Dan Ia harus menerima kenyataan pahit itu.

"A-ahh.. Maafkan aku, aku lupa. Tadi artinya 'Tidak, terimakasih.'"

Ketiga Suamiku [REPUBLISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang