"Ih muka kamu jerawatan, Dek," ledek Rendra, kakak laki-laki Ranti yang umurnya lima tahun di atas Ranti. Dengan sengaja dia menekan jerawat yang ada di kening Ranti dengan kencang.
"Ih sakit tahu." Ranti menjauhkan tangan Rendra dari jerawatnya yang sudah terlihat sangat matang. Besar dan merah.
Rendra terkekeh. Dengan gemas dia memeluk bahu dan mencium kening Ranti dengan penuh kasih sayang seorang kakak kepada adiknya. "Kangen kamu."
"Sayangnya aku mah nggak kangen sama Aa."
"Masa sih?" Rendra semakin mengeratkan pelukannya membuat Ranti menggerutu kesal. "Mama sama Papa mana, Dek? Aku pulang jauh-jauh dari Jepang masa nggak disambut, tega banget sih kalian."
Ranti melepaskan dirinya dari pelukan Rendra. "Mama sama Papa lagi ke Bogor jenguk Wa Edah yang lagi sakit. Jadi, aku di rumah cuma sama Bi Surti. Terus kata Mama, aku nggak boleh jemput Aa di bandara."
"Kenapa?"
"Kata Mama, Aa udah gede jadi bisa pulang sendiri."
"Sadis."
"Mama masih ngambek sama Aa gara-gara lebaran kemarin Aa nggak pulang padahal Mama udah transfer ke rekening Aa buat ongkos pulang."
Rendra menggaruk tengkuknya. "Kemarin sibuk nyusun skripsi, Dek. Jadi, Aa nggak bisa pulang."
"Terus sekarang gimana? Udah selesai belum skripsinya?"
"Belum. Skripsi Aa stuck di tempat. Ini Aa pulang mau minta maaf sama Mama karena lebaran kemarin Aa nggak pulang, harapannya biar tahun ini skripsi bener-bener udah beres tapi ternyata malah nggak beres-beres."
"Mungkin kualat karena Aa bikin Mama sedih."
"Bisa jadi."
"Makanya jangan bikin Mama sedih."
Dengan patuh Rendra mengangguk. Meskipun umur Ranti baru 16 tahun. Namun, terkadang pemikiran Ranti bisa lebih dewasa dibandingkan Rendra yang sudah mau berumur 21 tahun.
"Oh iya, hari ini kamu ulang tahun yah. Selamat ulang tahun. Mau hadiah apa dari Aa?"
Mata Ranti berbinar. "Aa punya uang nggak?"
"Kamu pengen hadiahnya uang?" Bukannya menjawab pertanyaan Ranti, Rendra malah balik bertanya.
Ranti menggeleng. "Aku pengen beli sesuatu dan untuk beli sesuatu itu tentunya harus pakai uang. Emangnya Aa punya uang?"
"Punyalah. Selain kuliah Aa juga kan kerja di sana."
Ranti tersenyum lebar. "Sekarang Aa makan dulu, setelah makan Aa mandi dan setelah mandi Aa temenin aku yah buat beli sesuatu yang memang aku mau."
"Harus hari ini juga?"
Ranti mengangguk.
"Nggak bisa besok?"
"Aku ulang tahunnya hari ini bukan besok. Jadi belinya harus hari ini," ujar Ranti tegas.
***
Rendra menggeleng-gelengkan kepalanya saat telah sampai ke tempat dimana Ranti ingin membeli sesuatu yang ternyata sesuatu itu adalah novel.
"Beli enam belas boleh nggak, A? Hari ini kan aku ulang tahunnya yang ke enam belas?"
Rendra menggeleng. "Kebanyakan. Nanti Mama marah. Ambil angka belakangnya aja."
Ranti mengerucut kesal tapi tetap menuruti apa yang Rendra katakan. Dia berjalan ke arah rak best seller, memperhatikan novel-novel yang mengisi rak tersebut. Setelah melihat rak best seller dia berjalan ke arah rak paling belakang yang bertuliskan fiction.
"Dek."
Ranti menoleh ke arah Rendra yang memanggilnya dan betapa terkejutnya dia saat melihat siapa yang kini berdiri di samping Rendra.
"Kenalin, Am. Dia adek gue. Satu SMA sama lo. Dah kenal belum? Dia baru kelas sepuluh."
"Beneran kita satu sekolah?" Tanya Ilham pada Ranti.
Ranti mengangguk.
"Kok kita nggak pernah ketemu yah?"
"Aku sering lihat Kak Ilham cuma kayanya Kak Ilham yang nggak pernah lihat aku," ujar Ranti jujur, sukses membuat Ilham merasa tidak enak.
Ilham menyodorkan tangannya ke arah Ranti, "Yaudah sekarang kita kenalan. Biar nanti saat lo lihat gue, gue juga lihat lo."
Ranti menangkupkan tanganya di depan dada, hal itu membuat Ilham salah tingkah karena baru kali ini ada wanita seumurannya yang tidak mau diajak berjabat tangan saat diajak berkenalan dengannya.
Rendra terkekeh geli melihatnya. "Bukan mahram, Bro. Jadi, nggak boleh pegangan tangan."
Ilham ikut tertawa tapi tentu tawanya adalah tawa terpaksa.
***
Sesampainya di rumah Ranti mengajukan banyak pertanyaan pada Rendra tentang Ilham.
"Kok bisa sih Aa kenal sama Kak Ilham?"
"Pas bulan Agustus tahun kemarin Aa pernah ketemu dia di Tokyo, kata dia, dia lagi ikut program pertukaran pelajar. Anaknya pinter jadi enak buat diajak ngobrol apapun. Terus tadi kebetulan Aa lihat dia lagi pilih-pilih buku. Kayanya dia juga suka baca kaya kamu," jelas Rendra.
"Dia suka baca?"
"Kayanya mah. Soalnya tadi dia kelihatan antusias banget pas Aa ajak ngobrol tentang beberapa penulis yang karyanya sudah mendunia."
"Keren," secara tidak sadar kata itu keluar dari bibir Ranti. "Aku suka sama cowok yang suka baca."
Rendra menatap Ranti dengan dahi berkerut. "Suka? Kamu suka sama Ilham?"
"Nggak!" Ucap Ranti cepat.
"Tadi kamu ngomong gitu."
"Kapan?" Ranti terlihat panik saat mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Rendra, "A Rendra ngarang. Orang tadi aku bilangnya suka sama cowok yang suka baca, bukan berarti aku suka sama Kak Ilham. Cowok yang suka baca kan bukan cuma Kak Ilham aja."
Rendra langsung tertawa. "Muka kamu kalau lagi panik lucu banget. Nggak apa-apa kalau memang kamu suka sama Ilham. Wajar cewek suka sama cowok ganteng plus pinter kaya Ilham, malah aneh kalau kamu nggak suka sama dia. Yang terpenting kamu harus bisa membatasi rasa suka itu jangan sampai rasa suka itu membawa kamu ke perkara-perkara yang nggak disukai sama Allah. Ingat yah, Dek. Dalam Islam nggak ada yang namanya pacaran jadi kamu nggak boleh pacaran!" ucap Rendra tegas.
Ranti mengangguk patuh. "Lagian, siapa juga yang mau pacaran?"
***
19 Jumada I 1440H
KAMU SEDANG MEMBACA
Diamku
SpiritualTeenfict | Romance | Religi "Diamku, bukan berarti aku tidak mencintaimu." Kisah ini tak seindah kisah cinta dalam diam Ali dan Fatimah. Ini hanyalah kisah cinta dalam diam yang sederhana. Sesederhana alasan matahari yang tak mampu bersinar bersama...