Pagi Yang Menyebalkan

18K 3.2K 162
                                    

"Ilham salat!" Perintah Mama saat melihat putra semata wayangnya tetap asik bermain FF padahal waktu adzan magrib sudah tiba.

"Nanti, Ma. Tanggung nih."

Dengan gemas Mama memukul bahu Ilham.  "Kamu tuh kebiasaan. Nggak baik tahu nunda-nunda salat. Sana cepet ke masjid."

Ilham menghela napas panjang sebelum mengakhiri permainannya. "Nggak mau, Ma. Aku mau salatnya di rumah aja."

Mama langsung melotot. "Anak cowok tuh salatnya di masjid bukan di rumah. Sana ke masjid! Kalau kamu nggak mau salat di masjid Mama bakal minta Papa buat potong uang jajan kamu. Mau?"

Dengan langkah kesal Ilham masuk ke kamar. Di kamar dia mengambil peci dan sarung, setelah itu dia bergegas pergi menuju masjid. Menuruti titah yang mulia ratu yang sulit untuk ditolak.

Jujur, Ilham bukanlah hamba yang taat padahal dia terlahir dari keluarga yang taat agama. Hingga sekarang, meskipun umurnya sudah 17 tahun dia masih sering meninggalkan salat. Entah kenapa berat rasanya untuk mengerjakan salat padahal salat itu tidak butuh waktu lama.

Andai Mama dan Papa tahu dia sering meninggalkan salat, Ilham yakin dia pasti akan langsung dijebloskan ke pondok pesantren. Janganpun ninggalin salat orang pacaran saja sebenarnya dia tidak diperbolehkan karena kata Mama dan Papanya pacaran itu dosa, tapi meskipun tidak diperbolehkan Ilham tetap saja melakukannya. Yang terpenting bagi Ilham sendiri, gaya pacarannya tidak boleh sampai kelewat batas, dengan kata lain dia tidak boleh merusak gadis-gadis yang ia pacari karena kalau sampai hal itu dia lakukan itu hanya akan merusak masa depannya.

***

Pagi yang tidak cukup menyenangkan bagi Ranti karena pagi ini motor yang Rendra kendarai untuk mengantarnya ke sekolah tiba-tiba mogok. Mana tidak ada angkot yang lewat. Mau pesan ojek online takut lama.

"Tuh kan aku juga bilang apa, jangan pakai si kuning. Si kuning itu nyeblin," gerutu Ranti sambil menunjuk kesal motor Vespa warna kuning milik Rendra yang sudah lama menjadi penghuni garasi karena semenjak Rendra kuliah di Jepang, motor itu tidak pernah dipakai dan sekarang dengan percaya dirinya Rendra malah memakai motor itu untuk mengantarkannya ke sekolah.

"Berisik, Dek. Udah sana pesen gojek," ujar Rendra gemas karena sedari tadi Ranti terus saja mengomelinya.

"Kalau pagi gini suka lama dapatnya. Abang gojeknya pada sibuk."

"Nggak apa-apa lama. Cepet pesen, daripada kamu harus jalan ke depan buat dapat angkot, makin lama lagi kan?"

Ranti menatap ke arah jalan besar yang jaraknya masih jauh. Inilah resiko punya rumah dipinggiran kota yang jauh dari akses jalan raya. Mau naik angkot saja jadi harus jalan jauh dulu.

"Kak Rendra."

Ranti yang masih berkutat dengan aplikasi gojek online menoleh ke arah seorang pemuda yang menghentikan motor ninja warna birunya di samping Rendra yang tengah sibuk mengotak-atik mesin motor Vespanya, berharap dengan hal itu motor Vespanya akan dapat kembali menyala. Dan  pemuda itu adalah Ilham.

Baru juga kemarin sore ketemu Kak Ilham, pagi ini kok ketemu lagi sih?  Batin Ranti sambil memperhatikan Ilham yang tengah berbicara dengan Rendra.

"Dek udah dapat belum gojeknya?" Tanya Rendra pada Ranti yang kembali sibuk dengan aplikasi gojeknya.

"Belum, A."

"Yaudah kamu bareng Ilham aja."

Mata Ranti langsung membulat sempurna. "Nggak mau, ah."

"Kenapa? Anggap aja Ilham abang gojek. Nggak apa-apa kan, Am. Lo dianggap Abang gojek sama adek gue?"

"Iya, nggak apa-apa. Santai aja. Ayo, Ran!"

Ranti menggeleng. "Aku nggak bisa naik motor kaya gitu. Terus nanti duduknya gimana? Nggak mau, ah!"

Sontak Rendra dan Ilham tertawa. "Adek lo polos banget. Yakin dia udah SMA?" Ledek Ilham, dia menatap Ranti dengan tatapan super geli. Baru kali ini dia ketemu cewek ajaib macam Ranti yang sepertinya takut naik motor ninja.

Ranti memberengut kesal. "Aku mau nunggu abang gojek aja."

"Beneran nggak mau bareng Ilham?" tanya Rendra memastikan.

Ranti menggeleng. Matanya terfokus menatap layar ponselnya. Memperhatikan gerak titik driver yang sudah berhasil dia pesan.

"Nggak mau katanya, Am. Dia mah nggak bisa dipaksa. Kalau dipaksa suka nangis," ucap Rendra sambil menepuk bahu Ilham.

"A Rendra," kesal Ranti, matanya mendelik marah pada Rendra yang dengan entengnya membuka aibnya yang memang terbilang gampang nangis.

Ilham dan Rendra kembali tertawa.

"Yaudah kalau gitu gue duluan yah," ujar Ilham sebelum melajukan motor ninjanya.

Selagi menunggu kedatangan ojek online yang sudah dipesan Ranti bertanya pada Rendra. "Kok Kak Ilham lewat sini sih, A? Perasaan rumah dia adanya di Cempaka Hijau? Kalau lewat sini kan malah makin jauh."

"Kata dia, habis nganterin makanan ke rumah neneknya."

"Neneknya orang sini?"

Rendra mengangguk.

"Siapa nama neneknya?"

"Nggak tahu. Tadi lupa nanya. Kamu kok kepo sih, Dek?"

"Cuma mau tahu aja, emang salah? Mungkin kita kenal sama neneknya."

"Terus kalau udah kenal mau ngapain? Kamu mau lamar dia ke neneknya?"

Ranti langsung memukul bahu Rendra. "Apaan sih. Kesitu mulu nyambungnya."

"Canda, Dek. Kamu mah nggak bisa diajak bercanda. Emosi mulu." Dengan gemas Rendra mencubit hidung mancung Ranti, hingga kacamata mines yang Ranti gunakan melorot.

***

20 Jumada I 1440H

DiamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang