perjodohan

5.9K 114 1
                                    

Malam membungkus bumi dengan berjuta gemerlap di atas sana memanjakan mata, serta nyanyian syahdu malam dari dentingan apa saja dan derik apa saja yang mengalun mengisi sunyi. Suasana pesantren yang kental dan lantunan syair Nadhoman dari santri putri yang baru masuk mosholla untuk memulai kegiatan belajar malam dan lantunan ayat suci Al-Qur'an yang dibaca sekelompok santri Tahfidzah di tempat lain mengisi kesunyian malam di pesantren Al-Iksan. Ini lebih indah dari nyanyian apapun yang pernah terdengar diseluruh penjuru alam.

Saat itu Zalila disuruh pulang sebentar dari pesantren oleh Ibu Fatimah karena ada sesuatu yang perlu dibicarakan, Zalila hanya menurut, ia meminta izin pada Bu Nyai pengasuh pondok putri, lalu mengikuti Ibu Fatimah pulang ke rumahnya.

Setiba dirumahnya, Zalila langsung masuk menuju kamar yang di ikuti oleh Ibunya. Menyampaikan niat yang ingin Ibu Fatimah bicarakan yang ternyata tidak diterima dengan baik oleh Zalila.

"Ini tidak benar Ibu, Lila masih mau sekolah, lagian umur Lila masih 15 tahun!" ujarnya disela-sela tangisnya.

"Ini bukan kehendak Ibu Lila!"

"Lalu?" Ia sudah tidak sanggup berucap lebih panjang lagi, semakin ia berucap semakin deras airmatanya mengalir.

"Ini keinginan Pak Kiyai, pengasuh di tempatmu nyantri, ada sebuah perjajian yang dibuat Ayahmu dan Pak Kiyai yang harus melibatkanmu Sayang," sahut Ibunya lemah. Berusaha menjelaskan.

"Ibu, apakah segampang itu ibu menyerahkan Lila, membiarkan Lila dimiliki orang lain selain Ibu, setelah kepergian Ayah? setelah dengan susah payah Ibu membesarkan Zalila, menyekolahkan Zalila hingga Lila sebesar ini?"

"Bukan begitu Lila!"

"Lalu! Apa maksud sebenarnya atas perjodohan ini?" Teriak Zalila histeris.

"Kau, kau berani membentak Ibu Lila?! Tidak ada seorang Ibu yang ingin menjerumuskan anaknya kedalam jurang, dari kejadian ini Ibu berharap kau mendapatkan laki-laki baik sebab ini kehendak Pak Kiyai, guru kamu sendiri, kau seharusnya bangga mendapatkan laki-laki yang telah dipilihkan Pak Kiyai terhadapmu!" Airmata Ibu Fatimah mengalir meski ia menghapusnya berulang kali. "Atas pertanyaanmu tadi mengapa Ibu tega melepaskanmu, membiarkanmu menjadi milik orang lain setelah Ibu bersusah payah membesarkanmu? tidak Nak, ibu tidak sendiri, keluarga Pak Kiyai ikut andil dalam mengasuhmu!" Bu Fatimah berusaha menjelaskan. "Ibu berhutang budi pada keluarganya, bagaimana caranya ibu bisa menolak permintaannya?"

"Lila tidak mau, Lila masih ingin sekolah," ujarnya parau tidak jelas terdengar bercampur isaknya yang memuncak.

"Apa kau tega menyakiti Ibumu yang suda renta ini? Ibu hanya ingin kau bahagia dan ada yang bisa menjaga jiwa dan ragamu sama seperti ibu menjagamu Sayang."

Zalila tidak lagi sanggup berkomentar hanya isak tangis masing-masing yang terdengar memilukan. tertunduk lemas tak sanggup berucap lagi, lidahnya sudah benar-benar terasa kelu meski sebenarnya masih banyak yang ingin ia bicarakan, hatinya berontak tidak terima dengan keadaan yang menimpa dirinya.

"Biarkan Lila sendiri" ujarnya kemudian tanpa melihat wajah Ibunya lagi, ia menyembunyikan wajahnya pada bantal, ingin meluapkan kekesalannya yang entah tidak tahu ia akan melimpahkan pada siapa.

Ibu Fatimah pergi. Ia berjalan lunglai meninggalkan kamar Zaila, sesaat ia kembali melihat punggung putrinya yang masih bergerak-gerak karena terisak. Ia ingin memberi ruang pada Zalila untuk bisa menumpahkan segala kesedihan anaknya, berharap tak ada sisa derita di hati Zalila anak semata wayangnya itu.

"Maaf!" Gumamnya. Menutup pintu kamar Zalila membiakannya sendiri.

***

Suara ayam berkokok meramaikan pagi seolah ikut andil untuk membangunkan manusia yang masih terlelap dalam mimpinya,  tak luput  suara cicit burung, entah burung apa tak ada yang perduli. masing-masing manusia sibuk dengan urusannya, bersiap mencari rezeki yang Tuhan limpahkan di pagi hari.

Dengan mata bengkak Lila memaksa matanya agar terbuka lebih lebar, karena menangis hampir semalaman, meratapi nasipnya. Ia berjalan lemas menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Ia bangun telat karena memang sedang berhalangan sholat.

Tok tok tok!

"Lila sayang, bangun sudah pagi, kau harus kembali kepesantren sekarang!" Panggil Bu Fatimah dari luar pintu kamar Zalila.

Tak ada sahutan. Terlalu marah ia pada Ibunya hingga ia merasa enggan untuk berucap meski sepatah kalimat saja.

"Lila!" Panggilnya lagi.  Lalu suara derit pintu dibuka. Bu Fatimah masuk, Lila hanya melihat sekilas lalu kembali tertunduk.

"Aku akan kembali, Ibu tak perlu khawatir," ujarnya tanpa melihat Ibunya.

"Ibu siapkan sarapan dulu, nanti kita sarapan bersama, Ibu juga akan siapkan beberapa makanan ringan untuk teman sekamarmu ya."

Lila mengangguk. Terlalu malas ia untuk meladeni ucapan Ibunya, rasanya sulit sekali mengeluarkan suara meski hanya kalimat pendek.

Tuhan selalu memberi suatu kejadian yang sering tidak bisa di pastikan, merusak rencana yang telah di rencanakan, meleset dari yang di impikan. Begitulah Tuhan, punya rencana-Nya sendiri, bahkan tanpa dipinta sekalipun. Memberi lebih dari yang diinginkan, kadang juga tak sesuai harapan, atau manusianya saja yang selalu merasa kurang, lupa cara bagaimana mensyukuri pemberian-Nya. Wallahu A'lam.

***

Jangan lupa vote dan komen ya gaes...

young wifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang