Cemburu 1

1.8K 78 1
                                    

YOUNG WIFE
Part 10
By: R. Ana

Beberapa minggu dari kejadian semenjak Zalila meminta izin untuk masuk sekolah lagi, ia sudah aktif seperti santri lainnya malahan sekarang ia menyiapkan diri untuk ujian akhir nasional tingkat SMP, dan sepertinya akhir-akhir ini Zalila mengikuti saran Diah untuk merubah sikapnya selayaknya putri Kiyai yang adem ayem.

Karena ia akan menghadapi ujian. Ia lebih sering belajar dan bertanya terutama dengan wali kelasnya yaitu Ustadz Adam. Dari dulu siapa yang tidak tahu keakrapan Zalila dengan Ustadz Adam bahkan Ustadz Adam punya panggilan yang berbeda buat Zalila 'Adek' itulah panggilannya, padahal tak satupun dari sekian banyak santriwati yang akrab dengan Ustadz Adam di panggil dengan sebutan tersebut.

"Ustadz! Bantuin Zalila ya...?" Pintanya ketika berjalan beriringan setelah jam pelajaran sekolah selesai.

"Pasti, jangan khawatir"

"Tunggu!" Cegatnya mendahului langkah Adam dan membuat langkah pemuda itu berhenti. Zalila memperhatikan wajah itu sejenak.

"Ustadz kurusan ya?"

"Aku? Nggak kok biasa aja," jawab Adam sambil melihat pegelangan tangannya. Berpura-pura, tapi pada kenyataanya tulang pegelangan tangannya memang lebih menonjol dari pada sebelumnya.

"Iya benar, Antum lebih kurus dari pada kemaren-kemarennya, nggak di kasih makan sama orang ndalem apa?" Tanyanya asal nyerocos.

"Biasa aja, malah sama orang ndalem di kasih makan tiga kali sehari." Kilah Adam.

"Kalau begitu, siapa yang makan?, soalnya Antum memang benar kurus." Lalu ia kembali ke jalannya dan bejalan lagi.

"Aku duluan ya .... soalnya masih banyak tugas santri yang belum di koreksi." Elak Adam mencoba menghindari Zalila, sebelum ia akan mendapat pertanyaan yang tidak bisa ia jawab nantinya, Adam pergi setelah melepas senyum kecutnya. Meski sebenarnya hatinya masih betah dekat dengan Zalila. Gadis yang mampu membuatnya uring-uringan selama ini, gadis yang sangat dirinduinya. Betapa mudah cinta mempermainkan hati.

***

Ternyata semuanya hanya perlu beradaptasi. Beradaptasi dengan lingkungan ternyata lebih mudah dari pada dengan orang, bahkan dengan orang sekitar terasa lebih sulit jika hati masih tidak menerimanya.

Zalila mulai bergelut dengan buku pelajaran karena ujiannya tinggal dua hari lagi, bahkan saat membantu Bu Nyai di dapur, ia lebih sering duduk membaca bukunya dari pada mengerjakan tugas dapur.

"Sayang!" Panggi Bu Nyai lembut.
Dengan segera Zalila berdiri menutup bukunya.

"Ia Ummi?"

"Kenapa tidak belajar di kamar saja, biar Ummi kerjakan sendiri, nanti Ummi panggil salah satu santriwati agar membantu Ummi menyiapkan makan malam."

"Tapi Mi?"

"Tidak apa-apa, sana pergi! Panggil suamimu biar bisa bimbing kamu langsung."

"Tapi...!" Zalila bingung harus panggil Azkam apa di hadapan Bu Nyai.

"Kenapa?" Tanya Bu Nyai seolah tahu keraguan didalam hati Zalila.

"Tapi Aa' masih ngajar kitab kuning nanti Mi," ujarnya ragu.

"Oh gitu ya..." Bu Nyai terlihat berpikir.

"Biar Zalila belajar bareng teman sekelas saja Mi, di moshollah."

"Oh... iya, tidak apa-apa." Ujar Bu Nyai lembut, memperlakukan Zalila selayaknya anak sendiri bukan sekedar mantunya.

Zalila kembali kekamarnya. Menyiapkan buku-buku untuk di bawa nanti ke mosholla, ia tidak menghiraukan Azkam yang juga mempersiapkan kitab kuning untuk pelajaran nanti.

"Mau belajar dimana?" tanya Azkam basa-basi. Masih selalu Azkam yang harus memulai percakapan dengan Zalila.

"Mau ke mosholla putri," sahut Zalila sekenanya.

"Siapa pembimbingnya di sana?"

"Kata anak-anak, Ustad Adam"

"Tidak ada pembimbing yang lain apa?"

"Emang kenapa?" Zalila balik bertanya.

"Nanti dia...." Azkam segara menutup mulutnya,engan meneruskan.

"Emang kenapa dengan Ustadz Adam?" Tanya Zalila semakin bingung.

"Nggak jadi!" ujar Azkam ketus lalu meninggalkan Zalila yang masih berdiri kebingungan, mencoba mencerna kalimat Azkam, tapi tidak berhasil.

Sebelum memulai kegiatan sehabis isya', keluarga Azkam biasa makan bersama terlebih dahulu. Di meja makan semua saling diam, hanya suara denting sendok beradu dengan piring yang terdengar, sebelum Pak Kiyai memulai pembicaraan.

"Jadi kapan rencana kalian buat ngasih Abah cucu?"

Zalila dan Azkam hampir bersamaan tersendak.

"Abah! Apaan sih?" Bu Nyai menengahi mereka. "Lagian Zalila masih belum cukup umur Abah," tambah Bu Nyai lembut.

Sedang Azkam dan Zalila tertunduk, sesekali mereka terbatuk-batuk.

"Tapi Abah ingin segera menimang cucu dan meramaikan ruangan ini, agar kursi makan yang menganggur itu segera terisi," ujar Pak Kiyai, tetap dalam pendiriannya. "Kalau ada cucu dari sekarang kan lebih enak juga bisa lebih banyak cucu Abah," tambahnya membuat Zalila kaget. Matanya terbelalak mendengar perkataan Pak Kiyai.

"Abah tenang saja nanti Azkam bikin anak yang banyak seperti kemauan Abah," ujar Azkam mencoba mencairkan suasana dan sukses mengundang tawa Abah dan Umminya. Namun membuat jengkel Zalila.

Zalila menendang kaki Azkam di bawah meja. Azkam meringis, mendelik ke arah Zalila.

"Biarin!" ujarnya pelan.

Mereka kembali ke kamar. Mengambil buku masing-masing yang sudah di siapkannya tadi.

"Aku berangkat!" Pamit Zalila.

"Iya, tapi awas saja kalau aku dengar kamu dekat-dekat dengan...." Azkam tidak menyelesaikan kalimat terakhirnya.

"Kamu kenapa dari tadi sebelum kita makan, bicaranya selalu di potong-potong?" tanya Zalila penasaran.

"Tidak ada!" jawab Azkam lalu mendahului langkah Zalila.

Zalila semakin bingung dengan sikap Azkam. "Kenapa dia?" gumamnya pelan. "Ah! Terserahlah, ngapain juga aku sibuk mikirin dia, mending aku berangkat," ujarnya kemudian, dan melangkah menuju musholla.

Cemburu tanda cinta. Benar memang, karena sejak dulu cinta sudah terpatri di dalam hatinya, berusaha menjaga sekuat tenaga hanya untuk seorang saja, bukan pada siapa-siapa.

***
Di vote ya...... dan juga komennya. Salam literasi.

young wifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang