Awan kelabu berarak menggelayuti pucuk pepohonan yang miring diterjang angin kencang. Sesekali sehunus petir tipis mencium puncak-puncak gedung pencakar langit, dan kabut dingin menyelimuti seluruh penjuru Kota Hujan itu. Gelap turun melingkupi, menyatu dengan remang.
Via tidak bisa menahan air matanya, merintik ke gaun satin hitam dengan potongan sederhana yang dikenakannya. Berita itu sudah disebarkan pada setiap kolom koran di seluruh negeri: KABAR DUKA KECELAKAAN MAUT.
Via tidak mengira kepergian anak bungsunya ternyata begitu cepat. Dengan ringkih perlahan, ia bangkit dari ranjang dan menyentuh pigura yang memuat foto anaknya.
"Ivan, anakku," keluhnya, "kenapa kau pergi secepat ini?"
Jemari rentanya gemetar ketika menyapu sealir air mata yang membasahi pipinya.
Seorang pria muda mengetuk pintu, yang dibiarkan menganga terbuka. Nicola melangkah masuk ke kamar ibunya.
"Ibu," panggil Nicola, "mobil jemputan dari dinas untuk kita sudah sampai. Kita harus segera berangkat."
Via ingin sekali menolak patuh pada komando pemerintah. Ini semua salah mereka! Mereka yang memperkerjakan anaknya hingga ajal menjemputnya dalam kecelakaan tragis di laboratorium itu.
Nicola berjalan mendekat dan mengelus pundak ibunya. "Sudahlah, bu. Ivan sudah tenang di sana. Ibu harus ikhlas."
Benteng ketabahan yang menahan Via selama itu rapuh kemudian runtuh. Via membiarkan dirinya jatuh dalam dekapan anak sulungnya. Air matanya kini membasahi setelan jas dan kemeja hitam yang dikenakan Nicola.
"Ivan seharusnya masih hidup," isak Via.
Nicola mengulurkan tangan, meraih pigura yang memajang foto adiknya. Ia merengkuh benda itu, dan membiarkan air matanya turut mengalir.
"Aku yang akan membawa foto Ivan."
---
Gerakan Fanes terhenti seketika. Ia menurunkan cangkir itu dari bibirnya. Bahkan kopi hangat itu belum sempat dikecap olehnya.
"Apa yang kau bilang?" tegasnya, meminta ulangan, tidak percaya.
"Semuanya ada di koran, kau pasti belum membacanya."
Penasehatnya melemparkan koran edisi malam itu ke pangkuannya.
"Bukan hanya Dimitri Ivanosky saja yang meninggal," desak penasehatnya cemas.
Ilmuwan muda itu akhirnya membaca berita itu.
"Selain meninggalnya Profesor Ivan karena kecelakaan yang membangkitkan kegemparan hebat di masyarakat, juga rumor-rumor dan konspirasi tentang pemerintah," lanjut si penasehat, "ada tiga ilmuwan muda lain yang tewas mengenaskan."
"Aku tahu, Symvo," sergah Fanes, "aku sedang membaca berita itu."
"Mereka rekan-rekanmu, Profesor Fanes," tegur Symvo ketakutan. "Ada Doktor Dionysus dan-"
"Symvo!" tegur Fanes keras. Ia berdiri tegak dan mengacungkan tangan memperingatkan. "Aku tegaskan sekali lagi! Baik badan itu maupun operasi penelitian itu adalah rahasia," ia menekankan.
"Dan," lanjut ilmuwan itu, "bagi orang sepertimu: tidak pernah ada. Kalau sampai aku mendengar dari mulutmu-"
"Baik, Tuan muda, tenanglah," sela Symvo panik. "Namun kau tetap harus berpikir. Kalau mereka berempat tewas dalam waktu yang bersamaan, bagaimana jika mereka sengaja dibunuh, tuanku?"
Fanes terhenyak. Badannya limbung dan ia sungguh membutuhkan benda kokoh untuk bertopang. Ia terduduk, terpukul akan fakta itu.
"Symvo, penasehatku, pergilah dari rumah ini, segera."
"Apa maksudmu, Tuan Fanes? Apakah mereka benar-benar dibunuh? Apa sebabnya?"
"Mereka berhasil," gumam Fanes lirih, seakan pada dirinya sendiri. "Itu sebabnya. Mereka berhasil."
"Berhasil apa?"
"Mereka menemukannya," gumam Fanes.
Seolah kesadarannya pulih seketika, Fanes membentak Symvo.
"Ini perintahku: Enyau kau dari hadapanku, Symvo! Dan jangan kembali lagi ke wisma ini, jangan ingat namaku, berbohonglah demi nyawamu. Turuti perintahku."
Symvo beringsut ngeri, bergerak menjauhi majikannya itu. "Kenapa, tuan, apa yang terjadi?"
"Symvo," bisik Fanes berserah, "jika mereka sudah diburu, maka giliranku akan tiba."
---
Hanya tiga mobil yang beriringan memasuki pekarangan pekuburan khusus itu. Pagi baru saja menyingsing di ufuk timur. Ini prosesi pemakaman yang tertutup, seperti kesepakatan dengan keluarga.
Peti kayu hitam itu diantarkan terlebih dahulu, diusung oleh beberapa pria mendaki bukit. Keluarga mengikuti di belakangnya. Payung diangkat untuk melindungi dari gerimis yang merintik dari langit yang bersemburat merah.
Via berjalan di samping suaminya, sembari terus mengelap air mata yang terus membanjir. Nicola melangkah di depan barisan, membawa pigura dengan foto adiknya. Hanya sedikit orang yang hadir dalam pemakaman itu: Via dan suaminya, Nicola dan istrinya, serta dua orang lain.
Rombongan itu melewati makam demi makam yang berdiri jarang di bukit itu. Nisan batu menatap sendu keluarga yang sedang dirundung duka itu.
Mereka tiba tepat ketika peti mati itu baru saja diturunkan ke liang kubur, dan tanah mulai dilemparkan untuk menimbun lubang itu.
Via meraba nisan anaknya, Ivan.
"Selamat tinggal, anakku."
Dan bebungaan mulai ditaburkan di atas gundukan makam. Makam yang menjadi tanda ditanamnya sebuah peti tanpa penghuni. Tidak ada mayat di dalam sana.
---
Di saat yang sama, pintu rumah ilmuwan genetika, Profesor Fanes didobrak keras. Fanes memanjatkan doa, sebab ia tahu, sebentar lagi, namanya akan ditambahkan di serentetan koran itu.
Dan seorang pria tersadar di tengah hutan.
---
vote, comment follow buat dukung author. Juga jangan lupa add ke perpustakaan biar bisa ikutin terus ceritanya.
Bakal update selalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Sides of a Coin
Mystery / Thriller"Tahukah Anda, di mana sisi ketiga dari sekeping koin?" Dunia pengetahuan gempar atas kecelakaan maut yang menimpa seorang peneliti muda, ahli patogen, Profesor Dimitri Ivanosky. Ada yang janggal dalam kematiannya, disusul dengan ilmuwan-ilmuwan mud...