Felixeu

44 5 0
                                    

Karena lo gak bisa milih lo mau sama siapa, dan takdirpun nggak bilang lo harus sama siapa.

Shakal.
.
"Shakal?"

"Lo Shakal Auri, kan?" sosok yang barusan manggil nama gue menyibak anak rambut yang berantakan di wajah gue. Pelan tapi pasti, macam autofocus, gue mulai melihat wajahnya secara jelas.

"Siapa?" tanya gue, berusaha bernada sangar, tapi tenaga yang mendadak terkuras sepertinya mencekat tenggorokan, jadi hanya nada lirih yang keluar dari sana.

"Shakal? Lo gapapa?"

Dalem hati gue ngerutuk kesel. Ada aja ya orang yang gue tanya malah nanya balik. Sisa-sisa tenaga gue juga mulai habis, jadi gue gak bisa ngeladenin pertanyaannya. Sebenernya nggak penting mengetahui dia siapa atau apakah gue kenapa-napa.

Yang penting sekarang adalah gue butuh air.

Sialnya mulut gue bener-bener kaku, cuma erangan lirih yang keluar dari sana, membuat sosok di hadapan gue ini mengernyit heran.

Sepersekian detik berlalu, saat-saat terakhir dimana gue ngerasa pandangan gue mulai memburam seakan nonton yutup dengan kualitas 144p, fase dimana orang bilang 'nyaris pingsan'. Gue sih sebenernya ikhlas-ikhlas aja, gue juga pengen tau rasanya pingsan gimana. Gue belom pernah soalnya. Paling banter juga gue pura-pura pingsan pas upacara, itu juga biar gue buru-buru digotong ke tempat teduh.

Ck. Udah mau nyaris pingsan masih bawel aja ya, gue.

B

Ya, itu suara air gaes. Bukan suara pecahan kaca.

Intinya, sekonyong-konyong seember air tumpah ruah tepat di wajah gue, membuat kesadaran gue yang menipis jadi shock dan langsung penuh. Mengabaikan sakit di kepala akibat dipaksa mode kesadaran penuh, gue memicingkan mata. Siapa yang berani ngeguyur gue? Seember lagi, ga tanggung-tanggung. Totalitas. Liat, hoodie gue aja basah kuyup. Bahkan hengpon gue yang tergeletak di atas meja ikut keciprat satu-dua tetes air di layarnya.

Baru ketika sosok itu mengangkat ember kedua, hendak ngeguyur gue lagi, gue buru-buru angkat tangan sambil teriak.

"STOP! STOP ANJIR UDAH BASAH KUYUP GUEEE,"

ya karena gue panik, kalimat gue ga kekontrol jadinya.

"Lo gapapa kan Sha?" Sosok itu menurunkan embernya, sambil sok menempelkan punggung tangannya di dahi gue. Gue mendecak kesal, menepis tangannya. Mau ditaro gimanapun juga, dahi gue gaakan kerasa panas, wong tadi udah lu guyur pake air dingin seember. Ckck, ganteng-ganteng kok lemot, mas.

"Gue Lee Felix. Temennya BangChan" dia ngulurin tangannya ke gue, yang gue sambut dengan setengah hati. Yang saat ini gue butuhkan adalah uluran handuk dan baju kering, bukan uluran ngajak salaman, plis. Tapi tampaknya si Lee Felix ini tingkat kepekaannya jauh lebih rendah, bahkan lebih bawah ketimbang si esbatu itu.

Kok jadi kepikiran si esbatu, sih?

"Btw, mereka ada perlu apa, ya? Kayak buru-buru banget," cuma gumaman, tapi gue bisa ngedenger sempurna seluruh kalimat Felix secara utuh.

"Rumah kosong?" gue memutuskan bertanya, walau bertanya pun sia-sia, gue bisa melihat secara jelas rumah ini sepi. Gaada klontang-klanting Hanyu yang berisik di dapur. Atau Zihao yang berkali-kali ngetoxic sambil main PUBG, yang disaut teguran dari BangChan (sesekali,kalo dia maen ke sini), atau Xinlong yang emang nggak pernah ribut, sibuk di kamarnya. Atau Zeyu yang teriak-teriak nyariin barangnya (heran juga, kayaknya dia tiap hari barangnya ilang), atau Shuyang dan Mingrui yang saling gedebak-gedebuk padahal cuma rebutan remot tv, yang pada akhirnya percuma karena mereka nonton sama-sama.

Rumah ini --atau harus gue sebut apartemen?-- sama sekali seakan gak bernyawa ketika 6 bocah itu gaada.

"Tadi mendadak pada pergi, ada urusan penting katanya," Felix mengusap tengkuknya, mengulurkan bantuan supaya gue bisa berdiri. Yang jelas-jelas gue tepis tangannya --seperti biasa, Shakal selalu keras kepala, bilang semuanya baik-baik saja, bahkan ketika dirinya melakukan segala sesuatu sendirian.

"Gue mau ke kamar mandi. Lo di depan, jaga-jaga kalo mereka pulang,"gue cuma berucap singkat, setelah itu melangkahkan kaki gue ke arah kamar.

Felix cuma cengo natepin gue dari ruang tamu.
.

"Heran anjir. Kok panas ya?" gue bergumam pelan, mencoba sekali lagi menaruh punggung tangan tepat di atas dahi gue.

Gaada hujan gaada angin, masa gue sakit?

Cuek sama segala kemungkinan sakit yang mungkin saja melanda satu-dua hari ke depan, gue memutuskan menyalakan keran, mengisi bathub penuh dengan air hangat.
.

Lima belas menit berlalu, sekarang gue lagi guling-gulingan nggak jelas sambil ngescroll timeline di weibo, sedikit kecewa karena akun fansite yang gue follow nggak kunjung memposting kalimat gue.

Lima belas menit setelahnya, lelah berkutat dengan sinar layar hengpon dan sakit yang mulai menguasai kepala, mata gue mulai terasa berat dan akhirnya gue pergi ke alam mimpi.
.

"Sha, sha, woe kebo, bangun, " suara berat khas om-om yang menyapa telinga gue membuat gue refleks bergidik, langsung membuka mata. Sepersekian detik, gue kembali gemeter karena di sekitar gue gelap.

Bener-bener gelap.

Cuma larik cahaya bulan yang jatuh satu-dua, berpendar di permukaan keramik. Felix yang tadi manggil-manggil gue sekarang ada di samping gue, tangannya menggenggam tangan gue erat-erat.

Dalam seminggu terakhir, entah udah berapa cogan yang gandengan sama gue. Nikmat mana lagi yang gue dustakan, duh.

"Fe-lix? Ge-lap," ucap gue susah payah, membalas genggaman Felix erat-erat, bahkan mendekat ke arahnya sehingga embusan napas Felix bisa terasa meniup ubun-ubun gue.

"Tenang ya sha, ada gue di sini," Felix mengusap puncak kepala gue, tangan dia yang satunya bergerak mendekap gue. Sementara gue masih mikir dan kebingungan apa yang terjadi lima menit terakhir. Juga angin apa yang membawa Felix ke kamar gue --membuka pintu dan bahkan duduk di atas kasur seorang gadis yang notabene sedang tidur di kasur yang sama.

Gue mikir apaan, sih?

"Lo ngapain, ergh, modus bet anjir pake meluk-meluk segala," sekali lagi, gue berusaha meronta dan menepis tangan si Felix-Felix ini.

"Lo takut gelap, ogeb. Tadi aja udah nangis-nangisan," Felix mendengus kesal, mengacak rambutnya sendiri.

Eh? Masa iya? Gue menyeka pipi gue, dan voila! ba-sah?

Gue mimpi apaan sih?

"Mana gue tau, pokoknya tadi gue denger lo udah nangis ngeraung raung. Gue kira lo kesurupan, makanya buru-buru kesini,"

Cie, perhatian.

Dasar Shakal kurang belaian, baru segitu doang udah baper:(

"Mana ada kesurupan pas tidur ih, bodohnyaa~" gue melipat tangan di depan dada, menatap wajah Felix di bawah cahaya remang rembulan yang sukses menembus tirai jendela.

Ganteng euy.

"Gatau, gue kan panik, mana mikir," jawabnya singkat.

Cie, ngambek.

"Gue gapapa, tadi mungkin—mimpi buruk aja," kilah gue, sedikit tersendat di tengah kalimat, karena gue berusaha memutar ulang rekam memori lima menit ke belakang, tapi hasilnya nihil.

"Lo kok masih disini? Mereka belom balik, ya?"

"Gatau, besok mungkin."

Gue hanya ber-oh pelan, kemudian memaksa mata gue untuk kembali terpejam, kali ini dengan tekad gue nggak akan setolol itu untuk lagi-lagi menangis —hanya karena mati listrik.

Sepertinya berhasil, karena tiga menit setelahnya, gue berhasil memasuki alam mimpi.

<????>Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang