You're Blushing.

42 5 0
                                    

Gue bangun saat matahari udah terlanjur beranjak naik, sinarnya menembus tirai jendela dan sukses jatuh tepat di wajah gue, membuat mata gue mengerjap-ngerjap sejenak.

Belom juga penuh tu nyawa ama kesadaran gue, tiba-tiba suara dengkur halus dari belakang gue membuat gue spontan bangun dan menoleh.

Bener-bener ini makhluk, kerjaan cuma ngagetin doang.

"FELIX!!"

Dia nggak jawab, cuma berbalik arah, menghadap gue. Dongkol, gue tarik selimutnya, dan—

—kaget. Bukan Felix ternyata.

Rambut fluffy yang menggemaskan dan hidung rata itu, gue yakin gue kenal.

"XINLONG!KOK LO BISA DI KAMAR GUE SIH?!"

—anjir. di kasur gue, pula.

"Well, teknisnya, tuan putri, lo yang nyasar di kamar gue!" idih, bangun-bangun udah ngegas aja ini orang.

Gue juga, ding.

Kalimat Xinlong barusan membuat gue sontak menoleh ke sekeliling dan mendapati ruangan yang gue tempatin bukanlah ruangan segi empat berdinding pink pucat, seperti beberapa hari terakhir. Melainkan ruangan segi empat yang sepertinya berukuran lebih luas ketimbang ruangan yang gue tempatin, dindingnya berlapis wallpaper kalem dengan motif garis-garis biru-putih.

"Kok bi-sa?"

"Tebak siapa yang nggak bisa tidur semaleman, malah nangis-nangisan, akhirnya bang Felix nyerah dan naro lo di kamar gue,"

"Bohong total. Lo ya, yang nyulik gue,"

Xinlong memutar bola matanya jengah, matanya masih setengah terbuka dan tampaknya malas berdebat.

Mata Xinlong segitu kebuka aja udh kagak keliatan ye, gimana kalo setengah kebuka *awthor

"Tapi lucu, ya," suara Xinlong membuat gue langsung memasang mode siaga, bersiap-siap menggenggam erat bantal yang tadi jadi tumpuan kepala gue selama tidur.

"Lo nggak bisa tidur sendirian, lo nangis terus-terusan. Tapi lo diem aja pas pindah ke kamar gue. Seriously, apa pesona gue semengagumkan itu?"

Detik berikutnya, wajah Xinlong memerah kena hantam dari bantal gue.

Dan gue, tentu saja, bergegas misuh-misuh kabur dari kamar si es batu itu.
.
"Lo yakin mau sekolah?" idih, suara itu lagi. Gue mendelik pada Xinlong yang baru menghempaskan pantatnya di bangku sebelah gue. Inisiatif, gue menggeser bangku gue menjauh.

"Sensitif amat, nyai," goda Xinlong, tapi gue nggak peduli, malah asik mengunyah roti lapis sambil nge-scroll nistagram.

"Coba liat deh, itu mata bengkaknya udah kayak apa," Xinlong menyorongkan piring kosong yang masih mengilat ke arah gue. Sebetulnya, tanpa perlu disorongin piring juga gue tau kalo mata gue pasti bengkaknya sudah tidak manusiawi.

"Peduli amat," gue menaikkan sebelah alis gue menantang, tapi sedetik kemudian kembali fokus pada sarapan, urung ngajak gelutnya.

"Mata lo juga nggak lebih baik dari mata gue," kilah gue pelan, mengamati lingkaran hitam di bawah mata Xinlong. Raut wajahnya jadi terlihat lebih...lelah?

Bodo amat. Sejakapan gue peduli.

"Terimakasih pengamatannya, tuan putri. Sekadar informasi, ini adalah hasil karya seorang anak bayi yang menangis meraung-raung sepanjang malam dalam tidurnya, cuma gara-gara mati listrik,"

Gue tau Xinlong mengucapkannya dengan nada yang sangat merendahkan, ditambah sorot matanya yang memang terkesan mengejek. Tapi gue lagi kehilangan nafsu buat berdebat di meja makan pagi ini.

<????>Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang