Checkmate to My King

53 6 0
                                    

Xinlong

Setan alas mana lagi yang udah ngerasukin gue, yaampun.

Gue menggaruk tengkuk gue gelisah, sesaat sebelum memasuki ruangan kelas.

Dia baper, nggak, ya?

Mengingatnya, gue malah jadi pengen ngakak sendiri. Mukanya tadi komuk banget, asli.

—tapi lucu.

Gue nggak tau seberapa besar efek kecupan gue di pipi Shakal, tapi yang gue tau, efeknya lebih dari cukup untuk membuat gue dan Shakal jadi canggung sepanjang jam pelajaran pertama.

Ya, mungkin secara teknis, sih, dia-nya aja yang canggung.

Sebentar, sebentar para readers yang budiman, jangan kalian lemparin dulu pangeran tampan kalian ini.

Gue bukannya nggak ngerasa apa-apa, yah, silakan dengar sendiri seberapa kerasnya detak jantung saya, kayak udah tanding keras-kerasan sama speaker tata usaha di bawah.

Dan rona itu, ah, ya, bagian yang gue paling nggak suka adalah pipi dan bibir gue.

Iya, tolong jangan kasih tau gue betapa meronanya pipi gue sejak pagi—bahkan Shuyang sampe menoel pipi gue cuma memastikan gue nggak pake blush-on. Juga senyum konyol ini, ah, kenapa gue jadi senyum-senyum sendiri, sih?

Cuma gue nggak mau terlihat bodoh hanya karena itu.

Ego gue terlalu tinggi biarpun cuma buat mengakui kalau dia itu sebenarnya punya pengaruh 'apa-apa' ke diri gue.

Yea, she has no idea of how dangerous she is. Dan yang pasti, gue nggak akan ngebiarin dia tahu.

Degup jantung gue mulai berangsur normal saat gadis itu hengkang dari bangkunya —bangku yang tepat di sebelah gue— dan pergi ke kantin selama jam istirahat.

Gue menarik napas lega, benar-benar lega. Gantian menatap tangan gue yang gemeter sekaligus keringetan.

Yayaya, efek dia sebesar itu.

Shakal

Menghabiskan satu hari penuh di sekolah dengan duduk di samping manusia—ralat, es batu—yang notabene habis menyentuhkan bibirnya di pipi gue, adalah salah satu hal paling nggak waras yang pernah gue lakuin.

Iya, gue ngaku kalau gue memang sering melakukan hal yang nggak waras, tapi percayalah, ini ada di level yang berbeda.

Beruntung gue nggak dapet kecupan di bibir. Bisa mimisan gue.

Gue nggak mau munafik. Setelah beberapa hari tinggal bareng, dan tentunya, menjalani hari-hari sekolah yang membosankan bersama, mau nggak mau gue mulai menyadari kalau Xinlong itu lumayan.

—diluar sikap dinginnya yang kebablasan kalo di sekolah, tapi jengkelin luar biasa di rumah.

Rumah?

Ah, iya. Entah kenapa, meski belum lama, gue mulai ngerasa kalau gue ada di rumah. Bersama enam bocah tengil bersaudara itu, gue merasa pulang.

Dan kehadiran Felix, ya, dia cukup membantu meski cuma jagain gue selama enam kakak beradik itu pergi kemarin.  Dalam momen yang singkat, dalam dekapan Felix, lagi-lagi ada perasaan yang gue nggak ngerti.

Seperti...deja vu?

Kalimat Rui tempo hari juga jadi tanda tanya besar di kepala gue.

Noona mungkin nggak inget sama Rui, tapi Rui selalu sayang sama Noona.

....apa gue dan Rui pernah ketemu sebelumnya?

<????>Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang