trust & wish

41 3 5
                                    

Xinlong.
.
"Kenapa takut?" dia tersenyum dan menepuk bahu gue, memberi semangat dan dukungan lebih. Gue menyambut uluran tangannya, sedikit merasa lebih lega.

Musik pun mulai diputar, dan kaki gue mendadak kaku, mati rasa.

Tatapan orang-orang itu...tatapan orangtua gue...cahaya sorot lampu...musik yang menggaung di sudut ruangan-

-begitu saja, dan ketakutan itu datang.

Musik sudah diputar selama hampir setengah menit, dan gue masih membeku di tempat.

Setengah menit yang sangat menegangkan, sekaligus dramatis.

Dia menyambar tangan gue, menggenggamnya erat seolah mengalirkan semangat dari sela-sela jemarinya, kemudian tersenyum dan mulai membimbing gue melakukan gerakan yang udah gue latih berminggu-minggu lamanya. Kepercayaan diri gue mulai tumbuh, dan gue bisa menari sepanjang sisa lagu.

Kami hampir sampai di menit terakhir, ketika tiba-tiba tali gaunnya sendiri tersangkut di kakinya. Gadis itu terbanting terduduk, dan berpuluh pasang mata sontak memandang padanya.

Dia mengangkat wajahnya, tersenyum lebar, bahkan terkekeh pelan saat kembali bangkit dan menit terakhir lagu itu berhasil kami selesaikan dengan baik.

Dia tidak berhenti tersenyum saat orang-orang serentak berdiri, bertepuk tangan heboh.

"Makasih," kata gue pelan sambil mengulurkan tangan gue.

"Buat apa?" Gadis itu mengernyit heran, tapi tetap menyambut uluran tangan gue.

"Buat yang tadi. Kamu hebat," kata gue tulus. Lagi-lagi, dia tersenyum lebar.

"Sama-sama! Kamu juga hebat! Kita harus menari bersama-sama lagi, nanti!" sahutnya bersemangat.

"Iya. Tapi aku butuh tahu namamu,"

"Xinru. Wang Xinru,"

-

Sekonyong-konyong, titik-titik air yang dingin membasahi wajah gue. Semakin lama, titik-titik air itu semakin banyak, memaksa kelopak mata gue yang super lengket ini membuka.

Dan hal pertama yang gue lihat adalah Riri lagi nyengir lebar sambil memegang gayung berisi air, yang sudah pasti dipake buat ngebangunin gue.

"Maaf, tapi lo nggak bangun-bangun," kekehnya, dan gue menarik napas lega saat pipinya yang semalam pucat itu sudah kembali memerah.

"Makasih," kata gue singkat, kemudian mata gue beralih pada jam kukuk yang bertengger rapi di dinding.

"Masih tengah malem, lo mau ngapain?" gue menoleh pada wajahnya yang mendadak tertunduk.

"Gue mau- hng - pulang," suaranya perlahan habis.

"Ngerasa butuh pamit ke gue, ya? Aw, so sweet, lo bertingkah seolah-olah gue ini pacar lo," gue terkekeh, mengacak rambutnya, tapi dia keburu menepis tangan gue sambil menggembungkan pipinya yang mendadak memerah.

"Gue lagi serius, heh!" dongkol, dia melempar bantal ke muka gue. Masih mending, sih. Ketimbang dia guyur muka gue pake air segayung.

"Iya-iya, sayang. Serius mau jadiin gue pacar lo?"

"Bucin mulu pikiran lo anjir, gue guyur juga ni," semburnya sewot.

"Santai woi," gue masih ketawa.

"Lagian ngapain balik tengah malem gini?"

"Nggak tahu. Gue...nggak bisa tidur,"

daritadi lo ngapain aja miper,-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 08, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

<????>Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang