Bagian 6

406 30 1
                                    

Kain membuka mata dan mendapati dirinya berada di tempat yang aneh, dia segera bangkit dan mulai berjalan menyisiri tempat yang nampak seperti gua bawah tanah. Tiba-tiba terdengar suara dari sampinya, "kau yang baru datang, kemarilah aku akan menunjukkan jalanmu", Kain menoleh dan melihat yokai berkepala kuda, seluruh tubuh yokai itu berwarna merah, bahkan rambutnya pun merah.

"Maaf, ini di mana?"

"Meido (jalan menuju neraka)", jawabnya singkat.

"Meido?? Aku... kenapa aku ada disini?", tanya Kain panik, yang dia ingat dia baru saja melahirkan seorang putra, dia bahkan belum sempat menggendongnya, lalu kenapa sekarang dia bisa ada disini?.

"Kaidou Kain, putra Kaidou Shinri dan Kaidou Haruka, meninggal dunia lima hari yang lalu pukul 18.07 karena kehabisan energi setelah melahirkan", yokai itu membacakan catatan yang dipegangnya untuk menjawab Kain.

"Tidak.. tidak.. aku tidak mau disini.. aku harus..anakku..."

"Kaidou Kain sekarang ikuti aku", tanpa menunggu yokai berkepala kuda segera menarik Kain yang meronta-ronta. Setelah cukup lama berjalan, mereka sampai di suatu tempat. Banyak orang berbaris di sana, teriakan terdengar dari barisan paling depan. Satu persatu barisan orang semakin sedikit, Kain masih kalut dalam pikirannya, hingga tak sadar sekarang sudah gilirannya. "Tuan, ini yang terakhir untuk hari ini", tutur yokai berkepala kuda.

"Terimakasih Mezu". Kain mendongak, membelalakkan matanya mendengar suara itu, mulutnya terbuka tanpa suara karena terkejut. Hisa, orang yang ada dihadapannya adalah Hisa, orang yang sudah menjungkir balikkan dunianya, orang itu kini berdiri dengan wujud agungnya di hadapan Kain, berpakaian hakama mewah tanpa lengan, memamerkan tato hitam di sepanjang lengan kirinya, didampingi banyak pengawal di sisinya. "Apa-apaan ini?", pikir Kain.

"Kalian semua boleh kembali, terimakasih atas kerja kerasnya", perintah Hisa pada pengawalnya.

"Terimakasih atas kerja keras anda Enma-sama", sahut pengawal serempak lalu pergi meninggalkan tempat itu, termasuk yokai berkepala kuda yang dipanggil Mezu tadi.

"Hisa, kau, apa maksud semua ini?", Hisa diam, tak menanggapi pertanyaan Kain, membuat dia kesal "Hisa....!". Sebaliknya Hisa dengan tenang membolak-balik catatan di tangannya, menjelaskan aturan di tempat itu, bahwa setiap kebohongan yang kau ucapkan, kau akan membayarnya dengan lidahmu. Segala sesuatu yang kau ucapkan, setiap hal yang kau lakukan, di pengadilan ini akan menentukan ke alam mana kau akan dikirim setelah kematian, karena itu kau harus berkata jujur.

"Kaidou Kain, semasa hidup kau sering membunuh, apakah kau menyesal?"

"Tidak", tak ada keraguan dalam suaranya, "yang aku bunuh tidak lain hanyalah benalu yang mengganggu hidup orang"

"Kau pernah memungut sebuah batu dihalaman rumahmu, apa kau menyesal?"

"Iya"

"Kau menyerahkan dirimu pada orang asing dari batu itu, apa kau menyesal?"

"Iya"

"Kau mengandung anak dari orang asing itu apa kau menyesal?"

Kain sedikit ragu, dia memang kesal pada Hisa saat tau kehamilannya, tapi dia tidak menyesal dengan anaknya, apalagi saat pertama kali merasakan detak jantung anaknya, dia di penuhi kebahagiaan. "Tidak ada orang tua yang menyesali keberadaan anaknya"

"Tapi kemudian kau mati setelah melahirkan anak itu, apakah kau menyesal?"

"Aku menyesali kematianku, tidak menyesali melahirkan anakku"

"Sekarang saat kau bertemu orang yang menyebabkan penderitaan dalam hidup mu, apa kau menyesal?"

Kain tidak menjawab dan justru berlari memeluk Hisa, "aku ingin bertemu denganmu, ingin memaki mu, meluapkan semua amarahku padamu, kau telah merusak hidupku yang damai, dan kau.....", kalimat Kain terputus oleh ciuman di bibirnya. Hisa menghisap dalam-dalam bibir Kain, memasukkan lidahnya dan menari indah bersama lidah Kain.
"Hei.. jangan menangis", Hisa menarik diri saat melihat air mata melintas di pipi Kain,  dengan jemarinya menghapus air mata di wajah cantik itu, kemudian menggendongnya. Sepanjang perjalanan semua orang membungkuk memberi hormat saat Hisa melintas, membuat Kain merasa malu. Akhirnya Hisa sampai di sebuah bangunan megah dan membawa Kain masuk kedalam.
"Selamat datang di istana Enma-darou, Kain-sama". Kain tercengang mendengar dirinya disambut seperti itu, namun Hisa terus menggendongnya, bahkan tidak repot-repot menoleh pada mereka dan terus berjalan hingga sampai di sebuah kamar mewah lalu menurunkan Kain. Kain memperhatikan sekeliling kamar, ruangan yang begitu besar jika dibandingkan dengan kamar dia sebelumnya, dengan nuansa merah memenuhi kamar. Lilin merah, tirai merah, kursi busa merah, selambu merah, bahkan seprei dan selimutpun  juga merah, membuat Kain berpikir, "kamar pengantin???".   "Ini..??", tanya Kain.

Eien IjouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang