JURANG RESTU
#JurangRestu_Part4
Tepat pukul 08.00 pagi, pesawat yang ditumpangi Nina sudah mendarat dengan selamat di Bandara Adi Soemarmo Surakarta. Dirinya tak perlu menuju tempat pengambilan bagasi, karena hanya membawa satu tas ransel berisi pakaian dan satu goodie bag berisi kue untuk oleh-oleh.
Sampai di pintu keluar, terlihat ayah, paman dan adiknya sudah menunggu dengan melambaikan tangan dan tersenyum lebar ketika melihat Nina. Diraihlah tangan sang ayah, diciumi punggung tangan yang mulai keriput dimakan usia itu dengan takzim. Ada keharuan yang tak bisa diungkapkan, membuat matanya berembun secara tiba-tiba. Sang adik pun memeluk Nina untuk melepaskan kerinduannya.
Jarak rumah dengan bandara memang tak jauh. 20 menit kemudian, Nina sudah berada di kamar rumahnya. Kamar yang sangat ia rindukan, tempat ia mencurahkan tangisan dan bebannya dua tahun lalu. Kamar yang menjadi saksi bisu meratapi kegagalan dengan sang mantan.
Tok tok tok
Pintu kamar terdengar ada yang mengetuk.
“Masuk,” jawab Nina dari dalam.
Terlihat ibunya memasuki kamar dengan senyum mengembang, sangat terlihat rona kebahagian di wajah ibu.
“Nduk … ayo sarapan dulu! ibu sudah masak kesukaanmu lho, Selat Solo. Nanti dilanjutkan lagi istirahatnya.” Perintah ibu sambil mengusap lembut tangan anaknya.
“Inggih, Buk. Wah, Nina kangen Selat Solo buatan, Bue,” ucap Nina senang, tak sabar ingin segera menikmati masakan ibunya yang sudah lama tak ia rasakan.
“Ayo sekarang! bapak ma adi-adimu kui lho udah nungguin dari tadi.”
Nina segera beranjak dari ranjangnya dan mengikuti langkah ibu menuju ruang makan. Sarapan pagi itu terasa begitu hangat. Nina tak berhenti tersenyum melihat kedua orangtuanya tertawa bahagia. Satu hal yang ia dapatkan dari sarapan pagi itu, bahwa tanpa kemewahan pun, kebahagian bisa diperoleh dengan cara yang sederhana.
‘Ya Allah, betapa lamanya aku mengurung hati dalam kebencian, membiarkan keegoisan menguasai jiwa, hingga aku melupakan orang-orang yang aku sayangi, membiarkan mereka ikut merasakan rasa sakit ini. Ampuni aku ya Allah, akulah orang yang paling jahat, tapi merasa seolah aku yang paling sakit.’ Batin Nina berkecamuk yang membuatnya terisak hingga suara tangisannya lirih terdengar. Kelelahan menangis membuatnya terlelap tidur hingga siang hari.
Selesai salat zuhur, bapak mengatakan jika malam nanti, kami sekeluarga akan segera bertandang ke rumah mas Aris. Menurut bapak lebih cepat akan lebih baik, karena ini bukan lagi masalah sekedar memaafkan, tapi menyangkut nyawa orang.
“Maksud Bapak apa?” tanyaku yang belum paham.
“Nin, Aris terakhir datang ke mari bilang, kalau kamu nggak bisa memaafkan dia dan ibunya, dia lebih baik mati. Apa kamu setega itu, Nduk?”
Sesak dada Nina mendengar penuturan bapak, apa yang bapak katakan sama persis di mimpinya dua hari yang lalu. Teringat kembali akan sumpah serapah yang pernah ia lontarkan, ternyata begitu dahsyat akibatnya. Seakan ia lupa, bahwa ucapan adalah doa. Doa orang yang tersakiti adalah makbul. Cukup dengan waktu dua tahun sudah membuat hidup mas Aris hancur hingga putus asa berniat mengakhiri hidupnya.
Terlebih lagi, ia juga bersumpah pada dirinya sendiri bahwa sampai kapan pun takkan memaafkan mas Aris. Kafarat sumpah yang sama sekali tak ada manfaatnya, justru dirinyalah yang terus terpenjara dalam kebencian. Tanpa mau menunda lagi, hari ini Nina putuskan untuk segera membatalkan kafarat sumpahnya dengan memberikan beras masing-masing orang satu setengah liter kepada sepuluh orang miskin.
KAMU SEDANG MEMBACA
JURANG RESTU
Ficção GeralMelepaskan orang yang kita cintai yang di sebabkan tak adanya restu orangtua memanglah menyakitkan.