her beast

1K 139 21
                                    

JALINAN zirah di tubuh sang kesatria berkilauan, gagah dan cantik di saat yang bersamaan, memantulkan cahaya matahari hangat di penghujung sore hari itu.

Surai pirang menempel di dahi sang kesatria yang lengket akibat banjir keringat. Seluruh sendi dan tulangnya menjerit lelah berkat pertarungan mematikan yang baru saja dijalaninya; yang baru dimenangkan olehnya beberapa menit lalu. Tak pelak, tangannya tetap erat mencengkram gagang pedang yang bersimbah darah sang musuh.

Kepala seekor naga sebesar rumah tergeletak di sebelah kakinya. Mati. Mulut menganga dan taring meneteskan racun. Permukaan sisik-sisik hijaunya bagaikan permata tatkala bersentuhan dengan mentari. Jauh lebih cantik daripada zirah sang kesatria. Indah. Memikat hati dan mengunci perhatian semua mata yang pertama kali melihatnya.

Sang naga bukanlah lawan ringan, tidak sama sekali. Butuh lebih dari sekadar otak dan otot untuk menaklukannya, sang kesatria memerlukan segala peluang demi memenggal kepala raksasa itu. Oh, betapa sengit perlawanan yang diterimanya, terbukti dari keberadaan luka bakar yang menyebar di sekitar area kulitnya yang terbuka serta tak sedikit bagian zirah yang hangus.

Reruntuhan menara batu berserakan di mana-mana. Kastel tua yang menjadi zona pertikaian mereka sudah nyaris tak berbentuk, kebanyakan pilarnya hancur dan hangus terbakar.

Kemenangan besar tersebut mestinya dirayakan dengan sukacita. Setelah memenangkan pertarungan hidup atau mati melawan musuh luar biasa, sang kesatria berhak bahagia.

Demi alam raya mahaluas, dia harus bahagia!

Sang kesatria menahan sumpah serapah dalam hati. Tiada luka peperangan yang lebih menyakitkan ketimbang sajian realita di hadapannya.

Duduk bersimpuh sambil bersandar di kepala naga yang terpenggal, seorang wanita menangis tersedu-sedu, tak menaruh peduli sedikitpun terhadap gaun merahnya yang memadu warna di atas kolam darah.

Putri Othella dari Selatan, sang kesatria mengingat dengan segenap kepiluan. Ialah alasan mengapa dirinya rela mempertaruhkan nyawa, latar belakang bagaimana pertarungan hidup-mati ini terjadi.

"Monster!" Sang putri meraung alih-alih berlari ke dekapan sang kesatria. Suaranya serak, diwarnai oleh kesedihan teramat sangat atas sesuatu yang terlalu janggal buat dimengerti siapa pun. "Kau monster!"

Sungguh ironis. Teriakan itu tidak ditujukan kepada bangkai seekor makhluk bersayap dan bernapas api, yang memiliki sisik begitu indah bahkan di saat-saat terakhirnya. Kematian manusia tidak secantik itu. Tidak pernah.

Sang kesatria mencoba menghampiri sang putri, tetapi kakinya langsung tertambat ke tanah begitu mendengar Putri Othella mendesis bak hewan buas. Ia mengangkat kepala, rambut hitamnya kusut dan mencuat ke mana-mana.

"Adakah hal yang belum kuketahui perihal makhluk buas ini, Yang Mulia?" Sang kesatria bertanya ragu-ragu. Ia takut telah mengetahui jawabannya.

Sepasang mata sembab menatap berang. Amarah dan kesedihan berkejaran di wajah Putri Othella. "Kesatria bodoh." Ia menggeram. "Kau membunuh Aestas!"

Aestas. Naga hijau itu bernama Aestas.

"Yang Mulia, maksud saya kemari adalah untuk membebaskanmu dari ... " Sang kesatria terdiam. Seorang tahanan tidak menangisi kebebasannya, apalagi menyayangkan kematian penculiknya.

"Aestas. Kesayanganku," lirih Putri Othella, kembali menjatuhkan diri ke kepala sang naga, kali ini sembari memeluknya erat-erat. Terlalu erat. Sang kesatria bisa melihat sisik-sisik tajam Aestas menggores kulit porselen Putri Othella. Namun, ketidakpedulian sang putri memaksanya bungkam seribu bahasa.

"Putri—"

"Pergilah, Kesatria," potong Putri Othella sambil terisak. "Sudah lebih dari cukup penderitaan yang kau timpakan kepadaku hari ini. Kuharap kita tidak pernah bertemu lagi."

Maka mereka berpisah. Sang kesatria merasakan hatinya hancur berkeping-keping menyerupai reruntuhan di sekeliling mereka.

Seolah semua itu masih kurang pedih, ia membuat kesalahan dengan menyempatkan diri menoleh ke belakang sebelum figur Putri Othella dan Aestas lenyap di balik dinding batu.

Aku mencintaimu. Putri Othella berucap tanpa suara, ekspresi melembut dan pandangan tidak lepas dari kepala sang naga.[]

END

A/N: AeThella💔

Season SpellsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang