Hari-hari Taehyung terasa sedikit lebih baik. Seluruh kehidupannya di kampus terasa lebih ringan dan ia begitu semangat tiap menghadiri kelas. Ketika ia bangun di pagi hari, ia mampu menatap matahari dengan senyuman, bukan helaan pasrah.
Taehyung banyak tersenyum sampai beberapa rekan kelasnya memerhatikan dia karena jarang-jarang seorang Kim Taehyung begitu hangat dan bicara begitu kasual. Dia memang cantik dan manis, tetapi minim bicara dan bergaul.
Sempat terpikir mungkin ada hubungannya dengan Jimin. Juga tentang bagaimana ia putuskan untuk jujur bahwa ia mencintai lelaki itu. Pernah suatu waktu Jungkook berkata mungkin saja karena Taehyung tulus dalam hubungan ini, membuat segalanya jadi terasa menyenangkan dan ringan dijalani.
Taehyung tersenyum mengingatnya. Seakan pertama kali ia berpacaran dulu. Rasanya masih berdebar tiap Jimin menatapnya intens dan tersenyum lembut.
Saat itu ia tahu, bahwa sebetulnya Jimin berubah.
Lelaki itu tidak jahat, Taehyung mengenalnya lebih dalam.
Pada masa itu, mungkin Jimin hanya seorang manusia yang tak dapat kendalikan emosi dan api cemburu. Terlebih, dengan temperamen yang buruk dan sifatnya yang ringan tangan. Taehyung bisa memahami itu, mereka hanya anak kecil saat pacaran.
Apa yang bisa diharapkannya dari hubungan kedua anak SMP? Tentu saja perkara.
"Kenapa melamun?"
Taehyung menggeleng pelan. Tersenyum simpul dan mengencangkan genggamannya pada tali ransel lantas berdiri tegak menghampiri Jimin.
Lelaki itu juga tersenyum kecil dan mengusak rambut Taehyung dan menggenggam tangan Taehyung yang satunya dan membawanya pergi untuk makan siang. Kemarin sudah janji akan belikan daging steak untuk Taehyung.
Sepanjang jalan, Taehyung merasa diperhatikan.
Mungkin karena ia bergandengan dengan Jimin. Pacarnya memang cukup terkenal di kampus karena tampan, baik hati, dan anggota senat, juga sering mengikuti banyak acara kampus. Gampang bergaul dengan orang baru, makanya banyak orang mengenalnya. Taehyung merasa kerdil sekali lagi. Terkikis kepercayaan dirinya menjadi seorang pendamping untuk Jimin.
Sebab, selain karena perasaan yang besar, Taehyung tak punya apa pun. Harta, kekuasaan, kecerdasan, relasi —ia tak memiliki cukup banyak hal dalam genggamannya kecuali sebilah cinta yang mati-matian ia pertahankan.
Taehyung tahu pikiran ini sangat buruk, tetapi ia tetap datang mengusik kepalanya dan membuatnya jauh lebih buruk lagi ketika menemukan Jimin tetap di sisinya.
Tersenyum lembut berkata, "Kamu. Cukup kamu dan itu lebih dari cukup."
Jujur saja, Taehyung sedikit takut untuk alasan yang tak ia mengerti.
-
"Apa rencanamu selain bekerja?"
Taehyung mengangkat satu dus berisi minuman kaleng. Berjongkok di depan kulkas bersiap mengisinya dengan puluhan kaleng yang baru.
"Bagiku liburan itu omong kosong. Jadi aku mungkin akan cari kerja sambilan yang lain. Yang tidak tabrakan dengan jadwal shift di sini."
"Oh, ayolah! Kau tidak pulang ke rumahmu?"
Taehyung menghentikan gerakannya sejenak. Menelan ludahnya yang seketika terasa sangat pahit, seperti itu karena ulah Jungkook. Ia menggeleng pelan, "Tidak bisa. Lagipula, aku tidak punya rumah untuk pulang."
"Aku baru ingat kau tak pernah cerita soal rumahmu."
"Tak ingin bicarakan."
"Kenapa?" Jungkook sedang mengepel lantai yang kotor. Seorang anak sembarangan kencing dan tidak bertanggungjawab. "Aku juga asli kampung, kok. Tidak usah malu. Seorang Presiden pun bisa berasal dari kampung. Aku tidak akan meledekmu, katakan saja dimana kampung halamanmu. Mungkin aku bisa berkunjung ke rumahmu,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Epiphany [MinV]
FanfictionJimin baru sadar, kalau dia pernah menyakiti Taehyung. Dan ia terlalu sadar kalau ia hanya bisa semakin menyakitinya saja. Dalam sebuah harapan diantara kemustahilan, ia ingin memperbaiki segalanya yang pernah ia rusak.