“Selamat pagi,”
Taehyung dan Jungkook berhenti mengobrol. Menoleh dan dapati Jimin berjalan santai ke arah mereka sambil melambaikan tangan. Jungkook berdecih karena sudah muak, sedangkan Taehyung gugup di tempatnya duduk.
Lihat saja bagaimana Jimin menatapnya. Katakan saja dia kepedean, tapi ia merasa yakin kalau kerlingan mata itu ditujukan padanya. Seketika mengantarnya pada memori ciuman intens mereka beberapa hari lalu.
Pria itu duduk di hadapan keduanya, “Serius banget bicaranya.”
“Kuliah bukan main-main.”
“Aku tahu,” Jimin tertawa geli. Jungkook selalu perankan watak galak ketika menghadapinya, dan bagi Jimin itu terlihat lucu. Menyenangkan juga. “Ini bahkan masih jam 9, jangan terlalu serius. Nanti wajah kalian cepat keriput,”
“Kalau hanya mau mengacau, pergi sana!”
“Aku hanya jadi teman bicara.”
“Aku sudah punya satu!” Jungkook menarik Taehyung lebih dekat padanya. “Dan tidak ada yang minta kau jadi pembicara atau pendengar di sini. Bau tubuhmu sudah tidak menyenangkan, sana pergi, hush hush!”
Saking bebalnya Jimin, Jungkook sudah bangkit dari bangkunya dan hampir menendang orang itu kalau Taehyung tidak menahannya. Wajahnya terlihat lebih tenang, ia mengelus bahu Jungkook yang jadi sangat kaku.
“Sudahlah, biarkan saja dia.”
“Tapi kan —”
“Tidak ada gunanya, Kook-ah.”
“Ya, dasar kecoa.”
Oh, betapa licin mulut anak ini. Kecoa, dia bilang? Jimin menertawakan dirinya sendiri yang begitu menyedihkan dan terhina di hadapan Jungkook. Tetapi satu sisi hatinya merasa lega karena Taehyung jauh lebih menerimanya sekarang.
Mungkin, sedikit demi sedikit ia mulai membuka hatinya lagi. Setelah pembicaraan berdua di unit kesehatan itu, Jimin pun merasa hubungan mereka satu langkah lebih baik ketimbang pertemuan awal. Taehyung lebih bisa menerima kehadirannya, meski hatinya masih meragu untuk merespon.
Bagi Jimin, segini pun sudah cukup.
Jungkook perlihatkan ponselnya ke Taehyung, “Kudengar dia akan gelar jumpa penggemar. Kau tahu, ‘kan dia baru saja terbitkan komik. Kudengar ceritanya menarik, sepupuku yang masih bocah juga suka. Memangnya dia sehebat itu?”
“Tentu. Dia idolaku sepanjang masa,”
“Bukankah itu Van Gogh?”
“Eh, maksudku setelah Yang Mulia Van Gogh sunbaenim.”
Tangan Jungkook mengusak rambut lebat Taehyung, “Kau ini. Dia bukan seniormu, Justin Bieber pun kau panggil sunbaenim. Kau terdengar seperti sepupuku yang baru belajar kosakata panggilan formal,”
Kemudian tertawa karena Taehyung merengut dan cubit perutnya. “Sudah, aduh! Jangan dicubit terus nanti meletus ototnya....”
“Biar! Sukurin biar tak bisa pamer!”
“Baby tummy juga lucu, kok.”
“Aish, sudahlah!” Taehyung selalu menghindari perdebatan soal otot dan perut buncitnya. Merasa malu karena lemak perut yang menggelikan, sangat tidak lelaki. “Aku belum buka e-mail dan portal media pagi ini. Dimana Soft Pudding-nim akan gelar jumpa fans?”
Jungkook mengernyit, “Kenapa? Mau datang?”
“Tentu! Kapan lagi bisa bertemu idola?”
“Dia hanya komikus baru, Ya Tuhanku...”
KAMU SEDANG MEMBACA
Epiphany [MinV]
Fiksi PenggemarJimin baru sadar, kalau dia pernah menyakiti Taehyung. Dan ia terlalu sadar kalau ia hanya bisa semakin menyakitinya saja. Dalam sebuah harapan diantara kemustahilan, ia ingin memperbaiki segalanya yang pernah ia rusak.