delapan - penikmat senja

65 8 4
                                    

Juni Inggrid, seorang gadis remaja dengan mata cokelat keemasan dan rambut hitam pekat sebahu, kini sedang mengikat tali sepatu lalu menyandang tas ranselnya dan bersiap-siap untuk pergi kuliah. Tidak lupa untuk pamit, hari ini ia berangkat naik becak pesanan Bu de nya. Entah apa yang merasukinya sampai-sampai bisa membuat Juni berangkat kuliah sepagi ini.

Sesampainya disana, seperti biasa tanpa basa-basi ia langsung masuk ke kelas dan duduk di kursi paling belakang kebanggaan nya dengan dua buah earphone menyumpal telinganya.

Kelas selesai, tidak lama. Hari ini, Juni hanya mendapat jadwal kelas pagi, selanjutnya ia bebas melakukan apapun. Kini ia sudah berada di sunbucks dekat kampus. Masih sambil menyumpal dua benda putih di telinganya, gadis bermata cokelat keemasan itu sedang meminum segelas Cappuchino langganan nya dengan nama tidak asing yang tertera disana.

Tinkerbell

***

Setelah nongkrong di sunbucks, Juni langsung pulang dan masuk ke kamarnya sambil menjatuhkan badan diatas kasur kebanggaannya. Entah kenapa, menurut Juni hari ini sangat membosankan. Ia menatap langit-langit kamarnya hingga akhirnya terhanyut dalam lamunannya.

Ting

Juni mengangkat sebelah alisnya, melirik ke arah telefon genggam yang kini sedang berada persis disebelah tangan kirinya. Melihat ada sebuah notif yang muncul, Juni mengambil handphone nya itu.

From +62xxxxxx
Siap-siap, kujemput setengah jam lagi.

Juni yang membaca SMS dari nomor tidak dikenal itu semakin bingung. Ia melihat ke arah jam dinding yang sekarang sudah menunjukkan pukul setengah tiga. Tidak mau mengambil pusing, Juni tidak menghiraukan notif yang masuk tadi. Salah kirim kali, pikirnya. Lalu ia bangkit dari kasurnya menuju kamar mandi, meninggalkan notif tadi tanpa balasan.

Selang dua puluh menit, akhirnya Juni pun keluar dari kamar mandi dengan memakai celana pendek dan kaos oblong dengan rambut yang masih dibaluti handuk. Setelah selesai mengeringkan rambutnya, Juni pergi ke taman untuk menyiram bunga-bunga milik Bu de, mengingat bibi dan pamannya itu seringkali lupa untuk menyiram bunga-bunganya.

Tidak lama setelah itu, sebuah mobil jeep sudah terparkir didepan pintu gerbang rumahnya. Juni mengangkat sebelah alisnya, sebelum seorang laki-laki keluar dari sana dengan memakai jaket army lalu melepas kaca mata hitamnya.

"Clarik?!" Juni membulatkan matanya, melihat Clarik baru saja keluar dari mobil jeep yang entah darimana datangnya itu.

"Hai! Ayo Juni!"
"Ayo? Ayo apa?!"
"He?―oh ya, aku harus izin dengan Bu de dan Pak demu dulu sebelum pergi kan?"
"T-tunggu! Kamu mau apa sih?!"
"Loh, kamu tidak baca pesanku?"
"Hah?"

Clarik melengos masuk ke dalam rumah Juni meninggalkan Juni yang masih mematung mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi saat ini.

"Bud―" Belum sempat Clarik melanjutkan kata-katanya, Juni sudah menariknya kembali keluar.

"Mereka sedang tidak dirumah!"
"Oh, kalau begitu ayo. Sudah siap kan?"
Juni melihat ke arah pakaiannya, sudah siap apanya?! Batin Juni.

Ia menghembuskan nafasnya gusar, lalu menatap Clarik sambil mengangkat telapak tangannya didepan wajah Clarik "lima menit!" Ucapnya, lalu segera bergegas masuk ke dalam kamar. Clarik yang melihat tingkah gadis itu hanya bisa terkekeh kecil, Juni selalu terlihat imut dimatanya.

Setelah selesai, Clarik sedikit terkejut. Juni keluar dengan memakai sweater berwarna merah maroon over-sized dan stripped jeans berwarna hitam. Tapi bukan itu yang mengejutkan Clarik, melainkan karena rambut Juni. Ia menggulung rambutnya keatas membentuk hair bun dan menyisakan beberapa helai rambut, membuat wajah Juni terlihat lebih segar dari biasanya. Tidak heran Clarik menunggu lebih dari lima menit, yang penting ia merasa puas dengan hasilnya.

"Udah? Ayo" Juni mengangguk, lalu masuk ke dalam mobil jeep milik Clarik.
Diperjalanan mereka berbincang sedikit, walau akhirnya Clarik selalu saja membuat Juni kesal.

"Tumben bawa mobil" ucap Juni.
"Hm, memang kenapa?" Juni menggeleng, menandakan tidak apa-apa.
"Kalau naik motor nanti kamu kepanasan, aku ga mau lihat kamu ngucek-ngucek mata berkali-kali karna kelilipan debu" kata Clarik yang masih fokus pada kemudinya. Juni sedikit tersentak, lalu mengalihkan pandangannya ke arah jendela.

Selang beberapa menit, Juni sudah tidak bersuara. Clarik yang menyadari hal itu melirik sekilas dan mengembangkan senyumannya. Juni tertidur.

***

Sesampainya disana, Clarik melihat Juni yang masih tertidur pulas. Ia tidak ingin membangunkan gadisnya itu, tapi mengingat tidak mungkin Clarik meninggalkan Juni disini semalaman, dengan terpaksa Clarik harus membangunkannya. Ia pun mengelus lembut rambut Juni.

"Juni, bangun"

Tersadar ada sesuatu yang mengelus rambutnya, pelan-pelan Juni terbangun. Ia mengerjap-erjapkan matanya berkali-kali, mencoba mengumpulkan kesadarannya.
"Dimana, Clar?" Tanya Juni.
"Di Gunungkidul, Juni"
"Oh, digunung―APA?!"

Juni memekik, membuat Clarik menutup kedua telinganya. Kesadarannya sudah sepenuhnya kembali sekarang.
"Clarik, kamu gila!"
"Tidak"
"Ini jauh sekali dari rumah, Clar!"
"Memang"
Juni menggeram frustasi.

Bagaimana kalau Bu de dan Pak de mencariku? Aku harus bilang apa? Kemana? Haruskah aku bilang kalau aku baru saja diculik oleh alien yang entah darimana asalnya?! Gumam Juni.

"Tenang saja Juni, aku sudah izin kepada Bu de dan Pak demu"
"Hah? Gimana? Kan mereka sedang tidak dirumah?!"
"Kamu serius nanya gitu?"
"Iya!"
"Mungkin kamu harus mengenalku lebih dekat, Jun"
Ah, iya. Juni baru ingat. Sekarang ia sedang berhadapan dengan Clarik, makhluk yang bisa melakukan apapun secara tiba-tiba tanpa sepengetahuannya.

Setelah keluar dari mobil, Clarik menarik tangan Juni dan berjalan di sebuah jalan setapak menuju atas bukit. Setelah sampai disana, terdapat sebuah bangku dan beberapa pedagang yang sedang berjualan. Melihat Juni yang masih saja menggerutu, Clarik memaksa Juni untuk duduk dibangku yang kosong itu.

"Ngapain sih Clar! Disini tuh ga ada―
apa..apa.." Juni terdiam. Ia menatap ke arah indahnya senja yang ditemani oleh matahari terbenam dihadapannya.

Clarik tersenyum, ia tidak pernah gagal mengejutkan Juni. Entah sudah yang keberapa kali, dia selalu suka melihat wajah terkejut Juni setiap kali ia berada disisinya.

"Suka?" Tanya Clarik.
Juni masih membisu ditempatnya, menikmati indahnya pemandangan matahari ditelan malam.

Entah Juni atau Clarik, keduanya sama-sama terpukau oleh keindahan saat ini. Clarik yang memperhatikan wajah gadis itu dari samping, sedang berusaha mengatur debaran jantungnya mati-matian.

Juni terlihat sangat cantik. Mata cokelat nya yang berwarna keemasan kini memantulkan cahaya matahari yang membuatnya semakin indah. Sisa rambutnya yang tertiup angin menambahkan efek pada ritme jantung Clarik.

Harusnya Juni ingat tempat ini, Bukit Bintang. Tempat paling sempurna untuk menikmati senja hingga malam tiba. Jika beruntung, pemandangan matahari terbenam yang indah dengan warna langit yang menggoda pun bisa dinikmati dari tempat ini. Dan sekarang, Juni sedang beruntung.

"Terimakasih, Clar.." ucap Juni, matanya masih tidak mau lepas dari keindahan sang senja. Clarik yang mendengar itu pun tertegun, tapi kemudian ia tersenyum.

"Cantik, kan?"
"Lebih dari apapun"
Clarik merasa lega. Tidak peduli berapa kali Juni sudah menyakiti perasaannya. Bagi Clarik, melihat Juni bahagia saja itu sudah lebih dari cukup.

"Tapi aku tidak suka senja, Juni" Kata Clarik yang membuat Juni mengerutkan keningnya, menatap Clarik bingung.
"Kenapa?" Tanya nya.

Clarik menghembuskan nafasnya pelan, lalu melanjutkan kata-katanya.
"Aku tidak ingin menjadi penikmat senja, Juni. Bukan nya aku tidak bersyukur, tapi aku hanya takut dikecewakan dengan kesementaraan"











;

Dunia JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang