satu - Juni Inggrid

81 11 0
                                    

Juni Inggrid, kuliah di jurusan Desain Komunikasi Visual semester dua di Jogjakarta. Dia hanyalah seorang gadis biasa―tunggu, tidak. Juni bukan gadis biasa, dia adalah gadis yang sangat misterius. Juni punya banyak sekali rahasia yang ada dalam dirinya, tapi dia bisa menyembunyikan nya dengan sangat sempurna. Tertutup rapat tanpa celah sedikitpun.

Juni tidak pernah mengenal yang namanya kebahagiaan. Dia tinggal bersama bibi dan paman nya. Orang tua nya meninggal dalam kecelakaan saat ia berumur delapan tahun. Saat itu Juni juga disana, dia kritis, sedangkan nyawa kedua orang tua nya sudah tidak bisa di selamatkan. Jadi sudah bisa disimpulkan, bahwa tidak ada banyak kebahagiaan dalam hidup nya. Walau Juni hidup, dia masih dalam keadaan kritis. Kemungkinan nya untuk bahagia hanya mencapai 0,1%.

***

Sinar mentari pagi membangunkan Juni dari tidur nyenyak nya. Kota Jogja di pagi hari memang mengejutkan, kalian bisa merasakan dua sensasi, hangat nya sinar matahari juga dingin nya tiupan angin di pagi hari, sempurna.

Tok tok tok..

"Mbakyu, cepat bangun. Sudah siang, nanti kamu terlambat kuliah"

"Iya, Bu De"

Sebenarnya, Juni tidak ingin kuliah, bahkan dia berniat untuk berhenti kuliah. Tapi dia tidak ingin terus-terusan menyusahkan Bu de dan Pak de nya, jadi dia tidak punya pilihan lain.

"Bu de, Juni berangkat dulu"
"Eh, ga sarapan dulu?"
"Nanti di kampus"
"Ya sudah, Bu de panggilkan becak nya dulu"
"Ga usah Bu de, Juni berangkat sendiri"
"Nde, hati-hati Juni"

Setelah menyalami Bu de dan Pak de nya, Juni berjalan dari rumah nya menuju pertigaan, lalu membeli eskrim sambil menunggu metro mini yang lewat. Tidak lama, dia melihat anak kecil yang sedang berlari sambil memegang balon di tangan nya, lalu tiba-tiba dia terjatuh di hadapan Juni, dan balon nya terbang. Anak kecil itu menangis. Juni biasa saja, tidak peduli.

Anak kecil itu melihat ke arah Juni,
"K-kakak, boleh aku minta es krim nya?" Kata anak itu, tangis nya mulai mereda. Dia menatap Juni dengan penuh permohonan. Juni memperhatikan nya, tangan anak kecil itu terluka.

"Tidak." Juni dengan cepat menghabiskan eskrim nya, lalu beranjak dari tempat itu, meninggal kan anak kecil yang masih menangis itu sendirian. Tidak ada, tidak ada rasa kasihan sedikit pun. Juni benci anak kecil.

PLAK!

Seorang ibu-ibu menghampiri nya lalu menampar nya. Juni diam. "Bisa-bisa nya kamu meninggal kan anak saya terluka seperti itu! Dia masih anak-anak, tidak kah kamu punya rasa belas kasihan?!"

"Tidak." Juni masih diam, dengan wajah datar nya. Ibu itu semakin geram, hendak melayang kan satu tamparan lagi di wajah Juni, tapi tangan nya tertahan.

"Ck, ibu sendiri bagaimana? Anak itu berlari sendirian tanpa pendamping lalu terjatuh dan ibu menyalah kan saya karena saya meninggal kan nya? Lalu apa bedanya denganmu? Menyusahkan." Lalu Juni pergi meninggal kan ibu-ibu itu yang masih terus meneriaki dan mencaci maki nya.

***

Juni tau dia terlambat, tapi dia tidak peduli. Juni langsung membuka pintu kelas lalu duduk di bangku paling belakang. Sambil memasang earphone ke telinganya, memakai ipod nya, dan memasang lagu dengan volume paling kencang, lalu ia memejamkan matanya, seakan masuk ke dalam dunia bayangan nya yang lebih ia sukai ketimbang yang nyata. Tidak ada yang berani membangunkan nya, karena siapapun yang berdebat dengan nya sudah pasti akan kalah.

Untuk Juni, dunia bagaikan planet asing. Ia selalu merasa kalau bumi bukan tempat yang cocok untuk nya.

"Juni Inggrid? Juni Inggrid hadir atau tidak?" Seketika ketika nama Juni dipanggil, semuanya membisu.

Dosen mata kuliah itu sudah kewalahan dengan sifat Juni yang terlalu tidak peduli dengan sekelilingnya, dan semua orang setuju akan hal itu. Dosen itu mendatangi nya dengan wajah geram. Ia melepas earphone yang terpasang di telinga Juni, "keluar kamu!"

Juni berdecih, "dengan senang hati." Tanpa memberi pembelaan apa-apa, Juni keluar, membawa tas ransel berwarna hitam yang tak pernah ia ganti sejak semester satu itu dengan wajah datar.

Semua orang membenci Juni, ia tau itu. Anehnya, semakin banyak orang yang membenci nya, Juni semakin merasa tenang. Karena bagi nya, semakin sendirian, hidup akan semakin mudah dijalani.

;

Dunia JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang