5. Dia

95 19 5
                                    

Suka? Tidak.

Rindu? Bukan juga ..

Cinta? Apalagi itu!!

Tapi ... aku ingin tahu tentangnya ..


Hari yang cerah. Matahari bersinar tak begitu terik. Perlahan menyusuri celah demi celah boven kaca patri. Mencoba memeluk dan menghangatkan hati yang dingin.

Kupandangi langit dari balik jendela. Sesekali terlihat orang-orang berlalu lalang di depan rumah. Kamarku yang berada di lantai dua adalah tempat yang cukup strategis untuk mengamati kesibukan orang-orang.

Sejenak menepi dari kesibukan kuliah. Juga, menepikan hati yang sepi di tengah deru kendaraan.

Hari ini adalah hari bebas bagi para mahasiswa. Tak ada kuliah, tugas pun sudah usai. Tinggal menunggu mid-test. Namun bagai terbebas dari jeratan tali yang mengungkungnya, teman-teman kuliahku justru sibuk memanjakan diri.

Apa mereka ingin olahraga lagi saat mid-test nanti? Ya olahraga, alias menyontek saat ujian. Peluh dingin membasahi pelipis diiringi pompa jantung yang bekerja lebih ekstra karena mencuri waktu untuk menyontek dan menengok kanan-kiri depan-belakang agar tak ketahuan. Sungguh olahraga yang cukup menguras keringat.

Besar harapanku agar ‘budaya’ itu dilenyapkan dari muka bumi. Bagaimana generasi penerus bangsa bisa maju kalau selalu mengandalkan kemampuan orang lain? Bagaimana negara mau berkembang kalau generasi penerusnya memiliki karakter seperti itu? Suka bergantung pada orang lain―tidak mandiri. Begitu miris.

Puas mengamati hiruk-pikuk jalanan, kembali kudaratkan tubuh ke tempat tidur. Entah mengapa hari ini terasa begitu sepi. Membuat sedikit tak bersemangat.

Namun cepat-cepat menegur diri, segera bangkit dari posisi duduk. Siapa lagi yang akan menyemangati kalau bukan aku sendiri. Kakakku sudah berangkat kerja sejak tadi pagi. Ibu? Mungkin ada di rumah tetangga. Seperti kebiasaan ibu-ibu yang lain, kalau pagi kadang suka bercengkrama. Mereka larut dalam dunia masing-masing.

Kulangkahkan kaki ke kamar mandi. Mengambil air wudhu untuk menunaikan shalat sunnah dua rakaat, dilanjutkan dengan shalat sunnah dluha. Kata ustadz, shalat bisa menenteramkan jiwa. Dan aku mengakui itu. Ketika sedang suntuk, aku memilih mencurahkan perasaan padaNya. Kepada Dia yang menciptakan rasa itu sendiri.

Yang paling mengerti manusia bukanlah sesama manusia, tetapi yang menciptakan manusia itu sendiri.

Seperti halnya ketika komputer tidak bekerja sebagaimana mestinya, kita tentu akan mencari dan berkonsultasi kepada ahlinya. Begitu juga dengan diri ini, ketika merasa ada yang salah dalam menjalani hidup, maka berkonsultasilah denganNya. Dia-lah sebaik-baik tempat mengadu.

Mengadukan hal-hal yang sederhana sampai yang pelik sekalipun. Tak ada pembatas. Tak perlu ada temu janji layaknya pejabat, padahal tingkatanNya jauh lebih tinggi dari itu. Tak ada yang mampu menyamai kekuasaannNya.

***

Jam demi jam berlalu, aku masih belum beranjak dari tempat ternyamanku. Kulirik jam bernuansa biru laut yang terus berdetak di dinding. Pukul 16.05.

Tiba-tiba teringat sebuah toko aksesoris yang kulihat beberapa hari yang lalu saat aku sedang nongkrong bersama teman di sebuah cafe. Toko itu menjual berbagai sticker dan poster.

Daripada terus berdiam diri di rumah, mungkin lebih baik ke sana sekedar untuk menyegarkan mata. Hitung-hitung jalan-jalan sore sambil mencari spot yang unik untuk bidikan kameraku.

Are You My Doppleganger?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang