Bus yang kutumpangi sudah hampir penuh. Semua deretan kursi telah terisi penumpang. Mau tak mau, aku harus berdiri. Berpegangan pada handle grip yang banyak terpasang di langit-langit kendaraan.
Tampak para penumpang yang didominasi pekerja kantoran dan anak sekolah sibuk dengan ponselnya. Pemandangan lumrah di era digital. Sebagian tengah membaca berita, berselancar di sosial media, menonton, dan sebagian lagi mungkin mendengar musik dilihat dari earphone yang terpasang di lubang telinga.
Aku berusaha menjaga kestabilan posisi berdiri dan sesekali bertumpu pada punggung kursi agar tidak terhuyung ke depan ketika ada getaran atau pengereman tiba-tiba.
Menoleh sekilas ke belakang, bola mataku menangkap sosok yang mencurigakan. Ia berdiri menyamping. Jaket hitam yang menutupi setengah badan termasuk hoodie yang menutupi wajahnya, membuatku tak bisa mengenalinya. Namun, dari perawakannya dapat kutebak bahwa ia seorang perempuan.
Apa ia seorang penguntit? Atau aku saja yang terlalu khawatir semenjak kecelakaan waktu itu? Entahlah. Tetapi tak ada salahnya untuk waspada.
Deretan gedung perkantoran, hotel serta ruko tampak berbaris bergerak mundur di luar sana. Aku melirik jam yang meligkar di tangan kiri. Sepuluh menit lagi sampai di perhentian bus.
Kuusahakan mencuri pandang ke arah belakang. Gadis misterius itu tiba-tiba membuang muka. Sepertinya tadi ia menghadap ke arah depan. Aku terlambat memergoki wajahnya. Kacamata, hanya itu yang dapat kulihat sekilas.
Tempat pemberhentian di depan mata. kucengkeram erat tali ransel sebelah kiri. Aku melangkah maju, mendahului penumpang lain. Tangan kananku berpegangan pada pintu keluar dan sesaat setelah pintu terbuka ... hap! Aku berhasil keluar dari bus.
Kupercepat langkah, sesekali menoleh ke belakang. Perempuan itu juga ada di belakangku. Dengan wajah tertunduk.
Suara klakson tiba-tiba membuatku hampir terlonjak. Sebuah mobil sport berwarna hitam berhenti tepat di sampingku. Kaca depan sebelah kiri diturunkan si pengemudi. Dia lagi rupanya.
Aku tersadar. Beberapa menit lalu aku merasa dibuntuti seseorang. Kuputar wajahku seratus tiga puluh lima derajat. Takada jejak orang itu. Aku membalikkan badan mencoba memeriksa dan meyakinkan diri. Benar. Tidak ada lagi. Syukurlah ia sudah pergi. Aku menarik napas lega.
"Kim! Kimmy!" Abi tak henti memanggil namaku. Mungkin ia heran melihat tingkahku.
"Nyari siapa sih?"
"Eng ... nggak ada kok," jawabku berusaha menutupi.
Aku segera meninggalkannya. Khawatir jika gadis misterius itu datang lagi. Kupercepat langkah. Mendahului beberapa mahasiswa yang juga berjalan kaki memasuki areal kampus. Namun tetap memperpendek jarak. Setidaknya jika aku berada di dekat mahasiswa lain, orang itu tidak akan berani mencelakai. Begitu pikirku.
"Lo nggak mau ikut?" Abi mengendarai mobilnya dengan pelan, berusaha mensejajari langkahku.
Mahasiswi-mahasiswi di sekitarku tampak berbisik. Bahkan beberapa di antaranya justru meminta tumpangan. Membuatku bergidik geli.
"Nggak!" jawabku lantang.
"Ok. Nggak sekarang. Berarti nanti kita pulang bareng." Pemuda itu menancap gas meninggalkanku yang ternganga tak percaya.
Berjalan lima belas menit menuju gedung fakultasku rupanya cukup melelahkan juga. Bulir-bulir keringat membasahi pelipisku. Andai Kak Lionil nggak urusan pagi ini, tentu Kak Kiara nggak akan mengendarai motorku. Dan tentu juga aku nggak akan naik bus, dibuntuti perempuan misterius dan mandi keringat berjalan kaki seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Are You My Doppleganger?
General Fiction(VOTE & KOMEN SETELAH BACA) Kata orang-orang, di dunia ini setiap orang punya kembaran. Bahkan sekalipun beda orang tua, atau mungkin lebih tepatnya kita semua punya seseorang yang mirip dengan kita. Apa benar seperti itu? Tapi bagaimana dengan dopp...