Refleks muncul di luar kesadaran manusia.
Seperti halnya jatuh cintaHari demi hari, aku masih saja membuntuti Abi. Permintaan Kak Lionil malam itu tak juga kugubris. Sampai akhirnya suatu waktu saat tengah mengikuti ‘kembaranku’, terjadilah insiden yang tidak kuinginkan. Abi menyeberang jalan. Tak berselang lama, aku pun melakukan hal yang sama. Namun tanpa kusadari, sebuah sepeda motor melaju begitu kencang ke arahku. Badanku seketika limbung, terasa perih di sekujur badan. Pelakunya pun kabur entah kemana. Sekilas jaket yang dipakai si pengendara mengingatkanku pada seseorang. Tapi entah siapa.
Aku berusaha bangkit, walau rasa sakit akibat luka di lutut dan siku membuatku kesulitan. Tiba-tiba sepasang lengan berkulit putih membimbingku. Kudongakkan wajah, lagi-lagi kudapati si pemuda tampan nan menjengkelkan itu. Meski sudah kutolak, namun ia bersikeras membawaku ke rumah sakit.
Ia membantu memapah berjalan di sepanjang koridor. Mau tak mau, aku terpaksa bersentuhan dengannya, mengingat kondisiku yang masih pincang. Lagipula saat ini, hanya dia yang bisa kumintai pertolongan. Jika memang ini salah, mudah-mudahan Allah mengampuni dosaku. Tak pernah bermaksud, bahkan selama ini aku selalu menjaga jarak dengan makhluk bernama lelaki. Kuharap Dia mengerti dan memaafkanku kali ini.
Dengan telaten, si perawat membersihkan dan mengobati lukaku. Sesekali kupejamkan mata dan menggingit bibir menahan perihnya obat yang dioleskan. Aku masih beruntung karena tak ada luka yang terlampau parah hingga perlu dijahit. Kuucap syukur. Sang Pencipta masih melindungiku, meski diri ini berlumuran dosa.
Setiap kejadian yang menimpa tak selayaknya membuat kita bersedih, marah atau bahkan memaki menyalahkan Allah. Bisa jadi hal itu sebagai teguran karena kelalaian dalam mengingatNya. Bukan hanya itu, tak pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi. Mungkin saja kita tengah dihindarkan dari musibah yang jauh lebih dahsyat. Maka dari itu, hendaknya manusia selalu bersyukur dalam kondisi tersulit sekalipun.
Siku dan lutut sudah selesai diobati. Kulangkahkan kaki dengan pelan menuju pintu. Sayup-sayup terdengar perdebatan di luar ruangan. Tampak dua pemuda yang sangat kukenal. Dengan pincang, kuhampiri mereka.
Melihatku keluar dari ruang perawatan, keduanya segera mendekat. Menyerbu dengan pertanyaan mengenai kondisiku. Mereka sepertinya khawatir. Bingung harus lebih dulu menjawab yang mana.
“Aku baik-baik aja kok, Kak ... Bi ....”
“Baik gimana? Kamu pincang gini. Ini pasti gara-gara dia kan? Hah?! Kakak kan udah bilang, jangan deket-deket sama dia. Kamu bisa kena sial kalo ketemu sama dia. Kamu ngerti kan maksud kakak?” Air muka Kak Lionil benar-benar tak seperti biasanya. Ada emosi yang ia pendam di matanya.
“Maksud lo apa bilang kek gitu?” Abi pun ikut tersulut amarah dituduh seperti itu.
Sebelum keduanya membuat keributan di tempat ini, aku segera menengahi.
“Kak, dia nggak salah kok. Aku yang nggak hati-hati nyeberang jalan. Lagipula dia juga yang bantuin aku ke sini. Kalian nggak perlu khawatir. InsyaAllah beberapa hari ke depan udah sembuh.”
Namun apa yang kuucapkan tak juga membuat suasana lebih tenang. Kak Lionil masih tak terima melihat kondisiku. Bukan hanya itu, Abi dan Kak Lionil juga bersikeras ingin mengantarku pulang. Masing-masing tak mau mengalah.
Daripada meladeni perdebatan mereka yang tak ada habisnya, lebih baik meninggalkan kedua pemuda itu. Dengan terburu-buru, aku berjalan menjauh ke arah pintu masuk rumah sakit untuk menunggu taksi online yang kupesan beberapa menit yang lalu. Setiba di sana, taksi pun datang, segera kutinggalkan rumah sakit. Dan mungkin mereka baru menyadari kepergianku. Tampak di balik kaca mobil yang gelap, keduanya berlari ke pintu gerbang, meski taksi yang kutumpangi sudah melaju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Are You My Doppleganger?
General Fiction(VOTE & KOMEN SETELAH BACA) Kata orang-orang, di dunia ini setiap orang punya kembaran. Bahkan sekalipun beda orang tua, atau mungkin lebih tepatnya kita semua punya seseorang yang mirip dengan kita. Apa benar seperti itu? Tapi bagaimana dengan dopp...