AKU (BUKAN) PEMBUNUH

66 14 13
                                    

💎 Aku (Bukan) Pembunuh 💎


Perempuan itu mengangkat tangan. Menatap kedua telempapnya bergantian. Sedetik ... dua detik ... tiga detik ... sepuluh detik ... keningnya berkerut. Memaksa otak untuk berpikir. Mencari ingatan asal muasal noda merah, basah dan berbau amis yang mengotori tangannya tersebut.

Ia menyerah. Tak menemukan ingatan apapun di dalam kepala. 

Pandangan matanya perlahan menurun, memandangi pakaian yang dipakai. Itu adalah setelan yang biasa ia kenakan ke kantor. Blus biru muda ditutupi oleh jas hitam yang tak terkancing. Lengkap dengan name tag bertuliskan MONA yang tertaut di dada. Ada bercak merah yang sama melekat di sana.

Ragu, Mona menurunkan tangan. Netranya bekerja dengan cepat. Spontan, kedua kaki itu mundur beberapa langkah, kemudian tersandung karena sebuah kerikil kecil yang menghalangi. Terhuyung, tubuh perempuan berambut sebahu itu terjatuh ke belakang. Tak peduli dengan rasa sakit yang mulai menjalari tulang ekor, Mona mengangkat kedua telempapnya sekali lagi. Menyadari dari mana noda merah itu berasal.

Badannya bergetar hebat. Bulir bening merembes memenuhi kelopak mata. Meluruh dengan cepat dan tak terkendali.

Menyadari siapa pemilik tubuh yang sudah terbujur kaku dan bersimbah darah di depannya. 

“Ta-Tama?” Mona memanggil dengan hati-hati. Terbata bersama isakan yang berhasil lolos dari sela bibir.

Mata laki-laki yang dipanggil Tama itu tetap terkatup rapat. Bergeming meskipun Mona kini sudah berteriak memanggil sang kekasih dengan pisau yang menancap di perutnya.

💎💎💎

Tenang, Mona. Tenang ...

Perempuan itu berusaha mengendalikan ketakutannya sambil terus merapal doa. Memaksa otak untuk berpikir jernih. Mengingat apa yang terjadi kemudian memikirkan langkah apa yang harus di ambil. Ya. Begitu lebih baik, pikirnya.

Mona mulai memandang sekitar untuk pertama kali. Menyadari bahwa di sekitarnya gelap. Tempat ini sangat gelap. Kemudian ia mengangkat kepala. Mendapati rembulan bersinar cerah di atas sana. Cahaya keperakan berhasil menerobos masuk dari sela dedaunan.

Daun?

Buru-buru pandangannya turun. Kembali menatap sekitar. Hutan. Ia berada di hutan. Bagaimana bisa?

“PEMBUNUH! ... PEMBUNUH! ... PEMBUNUH! ...”  

Mona tersentak. Segala kemungkinan yang belum sempat dibuat formulanya itu sudah menguap. Pikirannya kalut. Suara yang menggema di dalam hutan itu tidak hanya diteriakkan oleh satu orang. Bulu kuduk perempuan itu meremang, tangisnya sudah menghilang. Mona yakin, paling tidak ada sepuluh orang yang terus mengucapkan kata yang sama berulang. Seolah-olah membisikkan pada batang pohon. Memberi tahu pada hewan-hewan ... untuk mencarinya.

Entah mengapa ketakutan yang sempat bergelayut karena melihat Tama sudah berganti alasan. Kini ia takut ditangkap. Mona takut disiksa atau dijadikan santapan harimau. Dia bukan pembunuh! 

Seiring dengan teriakan yang terus berjalan mendekatinya dari segala arah, Mona meneguhkan hati. Memandang ke arah Tama yang belum berubah posisi. Segera berdiri untuk melarikan diri.

Lupakan soal Tama! Ia bahkan masih tidak tahu apa yang terjadi.

  💎💎💎


Tergopoh, perempuan itu mulai menyusuri hutan. Berusaha menghindari batang kayu dan ranting besar yang menghalangi. Kepala Mona berputar ke belakang sesekali. Memastikan bahwa dia sudah menjauhi sumber suara yang masih mengejarnya di belakang.

#CERBUNG - #Challenge1week200wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang