Renjun menarik Jeno untuk ikut sembunyi bersamanya karena hanya Jeno yang dia percaya sekarang.
Sebenarnya ada alasan lain, yaitu Renjun melihat Daehwi yang terus-terusan ngeliatin dia dengan tatapan gak suka.
Dia jadi takut.
"Jeno, kita sembunyi dimana?"
"Lepasin tangan gue dulu."
Mendengar itu Renjun langsung ngelepasin tangan Jeno. "Sorry, lupa."
"Perpus aja. Disana banyak meja sama rak buku. Ngumpet disana kayaknya aman. Lo tau dua lemari besar yang ada di pojok perpus? Nah, kita sembunyi di dalemnya aja."
"Gue mana mau sembunyi berduaan di satu lemari," tolak Renjun mentah-mentah.
"Ya kagak lah! Gue masih lurus!" Jeno langsung noyor kepala Renjun.
Renjun bales noyor kepala Jeno lalu langsung masuk ke perpus yang kebetulan deket dan pintunya kebuka.
Jeno yang terakhir masuk langsung nutup pintunya tapi gak dikunci. Karena menurutnya itu bisa menarik perhatian si penjaga.
"Jen, matiin lampunya," suruh Renjun.
Jeno ngangguk. Gak lama kemudian perpus yang awalnya terang benderang langsung gelap.
"Buruan, keburu ada yang dateng."
Buru-buru mereka berlari ke lemari yang dimaksud. Tapi, pas Renjun ngelewatin salah satu meja, dia gak sengaja nginjek sesuatu dan langsung disusul teriakan seseorang.
Renjun yang kaget langsung loncat ke samping. "Lah, Jisung?"
Yang disebut namanya mendongak lalu bangun. Tapi karena lupa kalau dia ada di bawah meja, kepalanya langsung kejedot. "Aish, kepala gue," ringisnya sambil berdiri dengan hati-hati.
"Lo sendirian?" Tanya Renjun.
"Iya, tadinya mau ngajak Felix. Tapi dia keburu ditarik sama Hwall," jawab Jisung.
"Tumben banget, biasanya Hwall suka banget sendirian," heran Jeno.
"Makanya itu. Udah ah, gue mau ngumpet lagi. Takut penjaganya dateng." Jisung kembali sembunyi di kolong meja yang posisinya di deket lemari yang dimaksud Jeno.
Renjun ngangguk lalu segera masuk ke dalam lemari. Begitu juga dengan Jeno. Tanpa basa-basi lagi dia langsung nutup pintunya.
Tepat setelah Jeno nutup pintu, pintu perpustakaan terbuka.
Seseorang berjubah masuk ke dalam dengan pandangan haus darah. Di genggamannya ada sebilah pisau yang baru saja diasah.
Matanya meneliti seluruh penjuru perpustakaan.
"Sshh.. Huang Renjun."
Renjun langsung membeku di tempat. "Gawat, penjaganya ngincer gue," batinnya cemas.
Renjun mendengar suara langkah kaki mendekat. Jantungnya langsung berdetak cepat dengan keringat dingin yang mengalir di pelipisnya.
Sampai akhirnya, pintu lemari terbuka lebar tanpa menimbulkan suara dan menunjukkan sang penjaga dengan seringaiannya.
Mata Renjun membulat kaget. Baru aja dia mau teriak, mulutnya langsung dibekap oleh si penjaga.
"Selamat jalan, Renjun," bisik si penjaga.
Tepat setelah itu, pisau yang sejak tadi digenggam si penjaga menembus perutnya.
Berkali-kali.
"Jaem, kenapa lo mau aja diajak sama Haechan? Kan bahaya."
"Gue penasaran, San."
"Terus lo gak mikir gimana nasib lo ke depannya?"
"Kan yang meninggal pas lagi sendiri, nah kita kan berempat."
Sanha berdecak sebal lalu mengalihkan pandangannya ke arah lapangan.
Saat ini mereka sembunyi di balik semak-semak di taman karena Sanha pikir si penjaga bakal ngeduga kalau mereka semua bakal sembunyi di tempat yang tertutup.
"Gue baru sadar satu hal."
Jaemin yang lagi nyabutin rumput langsung natap Sanha heran.
"Apa orang yang meninggal karena game ini?"
"Gak mungkin lah!" Jaemin tergelak.
"Atau mungkin ada yang sengaja buat game ini biar kita mati."
Jaemin yang hendak mengeluarkan kalimat langsung diam pas denger perkataan Sanha yang asal-asalan itu. Atau mungkin benar?
"Tapi Jaem, gue curiga. Kenapa yang kekunci di sekolah saling kenal semua? Temenan malah. Gak mungkin kan kalo yang buat game ini salah satu dari kita?"
Jaemin langsung tertawa hambar. "Apaan sih, San? Jangan ngaco, deh. Kita semua kan temenan, masa iya mau bunuh temen sendiri," sergahnya.
Sanha menggeleng. "Kalo ternyata ada yang gak suka sama kita? Itu bisa jadi salah satu penyebabnya."
Jaemin kembali bungkam, bingung mau ngomong apa. Karena bisa jadi semua yang diomongin Sanha benar.
"Sanha berbahaya, jangan sampe rencana gue gagal," batin seseorang.
"Sanha, pindah tempat, yuk. Disini gatel," ajak Jaemin sambil garuk-garukin tangannya.
"Nanti ketahuan penjaganya, Jae," tolak Sanha sambil menggeleng.
"Tapi gatel. Lo liat nih." Jaemin nunjukin tangannya yang merah-merah.
"Ya udah, kita sembunyi di kelas aja. Siapa tau aman."
Sanha berdiri dari duduknya, lalu menepuk-nepuk celananya yang kotor karena kena tanah.
Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri memastikan gak ada orang yang ngeliat dia.
"Jaem, ayo."
Jaemin ngangguk lalu ngikutin Sanha yang jalannya kayak maling, mengendap-ngendap maksudnya.
"Sanha."
Sanha langsung balik badan. Sedetik kemudian yang dia lihat adalah seseorang berjubah menyeringai menatapnya.
"L-loh, elo!"
"Haha, kaget? Sekarang gua bakal bunuh lo!"
Sanha terkejut pas lihat orang itu megang pisau.
"J-Jaemin."
"Sanha, lari!" Teriak Jaemin sambil berlari pergi.
"Gue gak bakal biarin lo pergi, Yoon Sanha," ucap orang berjubah itu.
Sanha langsung mengambil ancang-ancang untuk kabur. Namun sayang, orang itu segera mencekal lengannya dan menusuk perutnya.
Sebelum pandangannya menggelap, Sanha melihat salah satu temannya tersenyum puas dari koridor.
Dia kecewa karena temannya ternyata seorang pengkhianat. Dan temannya itu adalah orang yang gak pernah dia duga.
"Gue harap lo sadar," batin Sanha sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.
Btw, disini Daehwi sama Samuel gak terlalu sering muncul.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1.5] 18.00 | 00line ✓
Misteri / Thriller❝Baik? Gak semua temen kayak gitu.❞ 00line ft. Jeongin, Daehwi, Guanlin, Samuel Dibaca setelah Who dan sebelum email