Kopi Rindu Susu (KRS) Part 1

36 4 2
                                    

Hari ini langit menangis menumpahkan segala kerinduan hati yang sudah tak mampu dibendung lagi. Kecemasan, keraguan, kerinduan yang selalu bertambah kadarnya berkumpul dan bernostalgia menjadi satu membentuk bulir-bulir yang disebut ‘hujan’.

Hujan adalah berkah. Hujan adalah fenomena alam. Hujan adalah nikmat tersendiri bagi ‘pluviophile’, sang pengagum hujan. Hujan adalah kenangan. Banyak orang menyebutkan hujan dengan satu persen air dan sembilan puluh sembilan persen kenangan. Itu benar adanya, aku merasakannya. Sungguh sesak didada ini kian bertambah berat seiring bertambahnya intensitas jatuhnya air dari langit senja ini.

Ada kerinduan yang tak mampu aku ukur. Kupejamkan mataku, kurasuki sukma kalbuku semakin dalam, berharap mampu menetralka n gejolak perasaan yang terus timbul. Tak terasa tetes demi tetes air hangat mengalir dari pelupuk mataku. Pikiranku melalang buana pada peristiwa-peristiwa yang mana aku dan dia menjadi pemeran utamanya.

Masih tergambar jelas pada memoriku bagaimana senyumnya dan tingkah lakunya yang ceria mewarnai hari-hariku. Kutatap langit masih setia menggelap dan airpun masih saja turun membasahi bumi.

Hujan semakin deras, got-got, halaman, tanah lapang, dan jalanan sudah mulai dipenuhi air hujan. Ku angkat tanganku, menyeka bekas air mata “aku merindukanmu Tya” lirihku.

***

Satu setengah tahun lalu...

Ah tak terasa sudah hari sabtu lagi dan besok adalah hari minggu dimana aku menghabiskan waktuku dengan berleha-leha dikamar menghabiskan stok drama Korea, yang mulai menumpuk dihardisk laptopku. Maklum, aku cukup sibuk untuk sekedar menonton drama akhir-akhir ini, padahal banyak sekali drama yang baru saja liris dari negeri gingseng dan siap memanjakan mata pecintanya.

Sekarang pukul setengah lima sore, aku masih setia memfokuskan mataku dibalik novel yang berjudul ‘Hujan’ karya salah satu novelis ternama di Indonesia, Tere Liye. Setiap novel yang ditulis olehnya selalu mampu membuatku terpesona, gaya bahasanya, sudut pandangnya, konflik-konfliknya, juga imajinasinya yang mampu membuatku tak mau menutup buku bersampul biru ini sebelum kupamah habis semuanya. Jam terus berputar, tanpa kusadari sudah satu jam setengah aku duduk membaca novel ini. Ya, aku adalah pecandu novel yang merangkap juga sebagai pecandu drama Korea. Ingin rasanya aku pulang dan mandi. Lalu, menenggelamkan diri dalam novel ini lagi. Ah ini semua gara-gara Sasetya, yang memintaku menunggu dirinya yang sedang rapat OSIS. Maklum, ia seorang sekretaris utama dan wajib hadir dirapat rutin OSIS beserta pimpinan ekstrakurikuler. Sebagai teman yang baik, aku menunggunya seorang diri didalam ruang kelas yang dingin nan sepi. Hanya ditemani udara dingin  dari AC, juga alur cerita menarik dari novel yang sedang aku baca.

“Loh yong kamu masih disini ? tak kirain balik duluan.” ini suara Sasetya, aku hafal betul diluar kepala. Kututup novelku dan mengalihkan pandangan kearahnya, ia terlihat mengemasi barang-barangnya kedalam ransel warna biru toskanya.

Aku memelototkan mataku, meraih ranselku dan menyampirkannya kepundak kanan, sedang tangan kiriku masih setia menggenggam novel. “tau diri dikit sih yong, udah ditungguin juga enggak berterimakasih.” ucapku dongkul.

“iyee, iyeee tengkyu ya sayongku. yuklah pulang !”

Aku berdehem, terlalu lelah untuk menjawab ajakan ‘tuyul’ satu ini. Ah sekolahku sudah mulai sepi, hanya beberapa gelintir orang yang masih terlihat lalu lalang dan aku yakin mereka adalah orang-orang yang memiliki ‘jabatan’ entah itu di ekstrakurikuler ataupun di OSIS. Aku dan Sasetya berjalan menyusuri koridor-koridor sekolah menuju parkiran wilayah luar dari sekolahku.

“yong, ada Dovan sama Erik tuh” kataku

“dimana ih ?” tanyanya sembari mengedarkan pandangan, aku paham matanya sudah minus dan ia tak memakai kacamata.

“itu tuh yang dipojok lapangan sepak bola” tunjukku pada dua orang laki-laki yang duduk diatas rumput hijau, yang satu memangku gitar, yang satu begitu riang dan mereka tertawa bersama.

“oh.. yoklah kesana samperin mereka” ajak Sasetya menarik tanganku paksa “ayolah masih jam lima ini. Lagian ini hari Sabtu, nanti malam aku yakin tak ada yang datang mengapel dirumahmu”

“whatttt ???” ringan sekali dia berbicara,  ya walaupun apa yang dia katakan itu benar adanya. Dengan watados-nya alias wajah tanpa dosanya, ia menunjukkan senyum termanis miliknya, ahh aku luluh dengan senyuman itu, tiba-tiba kepalaku mengangguk-angguk tanpa sadar, mungkin terkena sihir ‘tuyul’ satu ini.

“Sore kak Faa, kak Setya !” ucap Dovan dan  Eric bersamaan saat melihatku dan Sasetya berjalan kearah mereka. Aku menganggukkan kepala dan tersenyum kearahnya.

Dovan dan Eric adalah adik asuhku ketika aku menjadi panitia MOS setengah tahun lalu, karena itulah aku dan mereka dekat, begitu jugs Sasetya,  yang notabennya juga menjadi panitia MOS yang galak ketika itu.

“Van, mainin lagunya Hivi dong ‘siapkah kau tuk jatuh cinta lagi’ aku mau nyanyi nih” pinta Sasetya dan Dovan mengangkat jempolnya tanda menyetujui permintaannya.

Suara petikan gitar Dovan dan juga merdunya suara Sasetya mengalun indah menjadi melodi dikala senja yang mampu menghipnotis siapa saja yang mendengarkan. Terkadang Aku dan Eric menjadi backing vocalnya, padahal hal itu malah memperburuk suasana yang ada, tetapi kami tetap  enjoy menyanyikannya dan tanpa mendengarkan pendapat mereka yang merasa terganggu akan suaraku. Kami terus larut dalam melodi-melodi yang dimainkan Dovan dan Sasetya entah ini sudah lagu yang keberapa, tetapi aku masih menikmatinya dengan diselingi cerita-cerita nostalgia ketika MOS. Eric bercerita bagaimana galaknya Sasetya ketika menjadi panitia MOS dan betapa ngerinya ia ketika melihat Sasetya.

“gilak, galak bener kak Sasetya dulu pas ngemos. Aku aja gaberani berulah kak Fa, padahalkan aku bandel kan ya?” celoteh Eric sambil tertawa riang, bercerita mengenang masa-masa MOS itu.

“udah ya, udah stop ngegosipin aku ! sekarang bubar udah jam enam ini udah mau maghrib !! Pulang !” instruksi Sasetya
Aku, Dovan, dan Eric tertawa terbahak-bahak entah mengapa Sasetya sangat lucu saat wajahnya menampakkan ekspresi malu bercampur kesal. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk pulang karena maghrib akan segera tiba.

“yong aku bareng kamu ya ? aku tunggu didepan gerbang aja, rame banget diparkiran” ucap Sasetya
“oke siap komandan”

Aku berjalan bersama Dovan dan Eric ke parkiran motor. Kumasukan kunci motorku lalu kupencet tombol starter dan mulai mengegas motorku meninggalkan parkiran juga  lapangan berumput hijau didepan sekolahku itu. Sampai digerbang aku berhenti sebentar menjemput ‘tuyul’ku itu. Disepanjang perjalanan pulang Sasetya berceloteh ria tentang apa saja yang terjadi saat rapat OSIS dan juga pimpinan ekstrakurikuler tadi. Tentang bagaimana ia harus berdebat dengan  sekretaris ekstra mengenai laporan pertanggung jawaban dari pimpinan ekstra yang baru saja menyelenggarakan kegiatannya.

Tak terasa karena ‘tuyul’ku terus saja bercerita kami sudah sampai didepan gerbang rumahnya.

“yong, sepi amat ih rumah. Bunda kemana yak ?” tanyaku

“mungkin dirumah pakde di sebelah, mau ada acara kenduri ntar malem. Main dulu yuk ?”

“ehh enggak lah terimakasih...” tolakku halus. Lagian dia aneh banget udah mau maghrib juga malah ngajakin mampir kerumahnya “balik duluan yaa..” pamitku.

Sasetya menganggukan kepalanya dan aku mulai bersiap menstarter motorku, melanjutkan perjalanan pulang kerumah hingga suara Tya menginstrupsi lagi.

“yong.. yong... liat geh” dia menyodorkan tangannya dan disitu terlihat jelas kontak motor dengan gantungan alumunium berlogo Institut Pertanian Bogor.

“kontak motor saha ?”

“HEHE baru inget kalo aku bawa motor tadi kesekolah....”

“jadi kita balik lagi kesekolahan ?” tanyaku sarkatis

Peristiwa seperti ini bukanlah kali pertama terjadi. Lupa bawa duit padahal udah makan dikantin, lupa apa yang mau dibeli ketika sudah di toko, lupa memakai seragam sekolah, hingga lupa tidak membawa baju olahraga ketika jam olahraga. Sasetya seringkali berubah menjadi nenek-nenek pikun diusia yang masih sangat muda. Yahh miris, itulah yang aku rasakan.

Kopi Rindu Susu (KRS) (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang