x (story)

5.5K 882 79
                                    

"Hmm... Hidup itu kayak sekotak cokelat. Kamu nggak akan tau kamu bakal dapet apa di dalamnya."

Renjun menoleh waktu Jeno tiba-tiba mengutip salah satu ucapan terkenal dari film yang baru saja mereka lihat. Forrest Gump. Ya, mereka benar-benar sedang movie marathon dan baru satu film itu yang selesai mereka tonton.

"Tapi aku nggak ngerti sih di bagian mananya hidup bisa disamain sama kotak cokelat. Tiap aku beli cokelat, aku pasti sudah tau apa isinya." Dia melanjutkan sambil meregangkan tubuh dengan mengangkat tangan ke atas, lalu menghela napas.

Oh, dia mau protes rupanya. Renjun tertawa dari balik maskernya. "Kotak cokelat memang isinya ada yang nggak seragam, tau. Ada yang isinya kacang almond, cashew, krim, ...banyak!" Katanya. "Aku pernah nggak sengaja makan yang isinya kismis. Langsung aku buang."

"Kamu nggak suka kismis?"

"Nggak."

"Kalo makan kacang yang ada campuran kismisnya?"

"Kismisnya aku buang!"

Jeno menatap Renjun dengan mata yang dilebay-lebaykan. "Kismis itu enak! Kalo gitu pasti kamu nggak pernah makan roti kismis ya? Itu enak! Tadi pagi aku sarapan pakai itu dan masih sisa banyak."

"Nggak pernah! Dan nggak pernah liat juga!" Lalu dia mulai memainkan jarinya. "Yah... Tapi kalo kata kamu roti kismis enak, mungkin aku bakal coba."

"Iya, emang harus coba! Nanti kamu bawa aja setengah rotiku. Kamu bisa makan di rumah."

Di rumah. Renjun menggigit bibirnya waktu Jeno ternyata tidak menangkap maksudnya.

Renjun, dari sebelum filmnya dimulai, sudah berkali-kali menunjukkan kode kalau dia akan melepas maskernya hari ini di depan Jeno.

Kode? Kenapa harus kode?

Karena Renjun ingin melepas dengan dorongan! Dia butuh momen yang pas untuk itu. Dan dia rasa, momen yang pas adalah antara Jeno yang meminta, atau memang Renjun ada di situasi di mana mau tidak mau dia harus membuka maskernya. Contohnya? Makan, mungkin?

Renjun memeluk kedua kakinya yang tertekuk, berusaha memikirkan lagi cara yang cocok untuk melepas maskernya, sementara Jeno mencari-cari lagi film yang kira-kira bagus untuk ditonton.

"Oh, Renjun, mau nonton ini?" Jeno menunjukkan tempat kaset yang terlihat lama. Judulnya pun tidak terlalu bisa dibaca. "Ini 'it's a wonderful life'. Tau?"

"...jangan bilang itu film hitam putih...."

"Memang." Jeno memamerkan mata bulan sabitnya, yang sempat membuat Renjun harus menahan senyum. "Tapi aku suka. Waktu itu aku ikut ayah dan ibu nonton ini. Ini kesukaan ibu, jadi aku juga suka."

Kesukaan Jeno. Dibilang begitu, Renjun jadi penasaran.

Setelah Jeno memasangkan kasetnya pada player, Jeno kembali duduk di sofa, di sebelah Renjun. Jeno juga sempat membenarkan bantal duduk Renjun. "Duduknya yang enak dong." Huh, maksudnya apa!

"Kamu suka ya, film lama?" Renjun berceletuk waktu filmnya baru mulai pembukaan. "Tadi Forrest Gump, lalu sekarang... Apa tadi? It's a wonderful life?"

"Haha, iya. Kenapa? Kamu bosen ya? Mau ganti yang lebih baru?"

"Eh, nggak, bukan... Cuma pengen nanya aja." Dia mengoreksi. Dia jadi merasa bersalah, merasa salah kata.

"Sebenernya aku juga bukan tipe yang suka nonton sih. Aku nggak update film. Aku cuma bakal nonton kalau filmnya ada di bioskop. Film yang ini juga aku bisa suka karena ibuku suka." Jeno bicara sambil terus fokus pada layar TV. Ruangan yang digelapkan makin membuatnya mudah fokus. "Tapi kalau Forrest Gump, mungkin karena aku suka bagaimana film itu tetap dihitung sebagai film romansa walaupun scene tokoh utama dengan lawan mainnya itu sebenarnya masih bisa dihitung jari."

Renjun antara mengerti dan tidak mengerti. Dia mengerti di bagian Jeno bilang soal Forrest Gump masih bisa dibilang film percintaan padahal scene cintanya hanya sedikit. Tapi dia tidak mengerti kenapa malah bagian itu yang justru Jeno sukai.

"Setelah aku nonton Forrest Gump, pikiranku soal cinta jadi berubah total. Aku kira, cinta itu hanya ada saat dua orang menghabiskan waktu berdua ---makanya banyak yang tidak merasa kuat untuk pacaran jarak jauh..."

"LDR?"

"Iya. LDR." Jeno tertawa. Entah kenapa mendengar kata itu keluar dari Renjun terasa lucu. "Beberapa temanku ada yang bilang mereka putus karena pacarnya gak kuat harus LDR. Tapi Forrest menghabiskan sebagian besar hidupnya tanpa Jennie. Mulai dari dia ikut militer sampai jadi pengusaha, semuanya tanpa Jennie."

"...tapi Forrest menulis surat untuk Jennie tiap hari."

"Iya, dia tetap memikirkan Jennie tiap hari. Dan itu mengagumkan buatku."

Pertanyaan Renjun soal film tadi itu, itu hanya pertanyaan kecil yang Renjun kira tidak akan dapat membuat mereka jadi bicara panjang. Tapi dia salah. Jeno malah jadi cerita lebih dan lebih lagi soal film kesukaannya itu.

"Forrest di filmnya itu benar-benar tokoh yang mengagumkan. Dia menekuni semua yang dia lakukan dengan sungguh-sungguh. Dan setiap dia berhasil melakukan sesuatu, dia akan mengingat lagi ke masa-masa Jennie pernah menolongnya. Dia sangat mencintai Jennie."

Cinta membuatnya berkembang. Renjun merasa, Jeno mengagumi cinta yang seperti itu. Cinta yang tidak menghambat. Cinta yang mendorong untuk jadi lebih baik.

Renjun meremat bantal yang dipeluknya. Dia tidak merasa 'cinta' yang mungkin bisa tumbuh di antara mereka itu adalah cinta yang menguntungkan untuk Jeno.

Jari Renjun terangkat ke telinga. Dia membenarkan lagi maskernya supaya tidak terlepas.

.
.
.
Tbc.

A/n. A-aku kira ini bakal jadi chapter terakhir. Tapi ternyata,,, kita masih akan berlanjut sodara sodara,,, mohon bersabar,, semoga masih betah

AISH RENJUN LEPAS AJA SI TU MASKER BIAR FF INI CEPET SELESAIIIII CAPEK AKU WKWK

BTW YG BESOK JUGA MASI UJIAN, SEMANGAT!!! KITA BISA!!! 😩😩😩😩😩

pemanis ♥️

pemanis ♥️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[✓] dating app [noren] (chat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang